Readtimes.id– Ini sudah kesekian kalinya lembaga yang bertugas membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila itu membuat kontroversi.
Sebelum ramai dengan lomba karya tulis yang mengusung dua tema yakni “Hormat Bendera Menurut Hukum Islam” dan “Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam”, lembaga ini juga pernah menuai kontra yaitu ucapan pimpinannya sendiri, Yudian Wahyudi, menyatakan bahwa agama adalah musuh Pancasila.
“Si minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan,” kata Yudian dalam sebuah wawancara yang menuai respon negatif dari DPR juga publik.
Lebih dari itu, ada juga wacana draf Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memperbolehkan anggota TNI dan Polri aktif bisa menjabat sebagai Dewan Pengarah BPIP. Berbeda dari aturan sebelumnya yakni Perpres No. 7 tahun 2018 tentang BPIP, presiden hanya membolehkan purnawirawan mengisi jabatan tersebut.
Ini menjadi sumber kekhawatiran berbagai pihak karena keterlibatan TNI-Polri aktif di BPIP dikhawatirkan hanya akan menyerupai wajah Orde Baru dan meninggalkan pemaknaan Pancasila.
“Di masa Orde Baru kan kayak gitu. Ada peninggalan makna Pancasila yang dikonstruksi kekuasaan Orde Baru. Dan secara praktek itu dilakukan melalui P4,” kata Wakil Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri, sebuah lembaga pemerhati HAM yang menjadi salah satu pihak yang menyampaikan kekhawatiran itu pada media.
Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Agus Wahyudi menyampaikan bahwa hal ini tidak terlepas dari budaya epistemik yang menampakkan adanya semacam “kasta” di tubuh BPIP, dimana sifatnya cenderung terus menguat.
“Misalnya antara yang senior dengan yang junior, ada perbedaan dan ketidakpaduan, yang akibatnya berpengaruh pada praktek leadership dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentang Pancasila dan program- program kegiatan di BPIP,” terangnya kepada readtimes.id.
Hal ini dapat dilihat dari langkah dan bentuk program BPIP yang nampak fragmentaris, tidak terarah dan tidak visioner sehingga cenderung melahirkan kontroversi di tengah publik.
Dalam kesempatan yang sama, pihaknya juga menerangkan bahwa sudah seharusnya BPIP dapat mengembangkan wacana yang lebih mencerahkan, mengatasi kontroversi tradisional seperti hubungan agama dan negara yang secara konseptual seharusnya sudah selesai.
“Solusinya menurut saya ke depan BPIP harus dapat mendemokrasikan budayanya sendiri, dan mendorong wacana melalui program -program yang dapat memperkuat “konsolidasi demokrasi” artinya memperkuat kedaulatan rakyat dalam arti yang lebih genuine,” tambahnya.
Hal ini penting jika kemudian BPIP ingin dipandang sebagai sebuah badan yang dapat memberikan kontribusi berarti dalam era nasionalisme modern di tengah tantangan globalisasi dan populisme politik serta perkembangan teknologi informasi.
Ketika disinggung lebih jauh mengenai urgensi keberadaan BPIP, Agus Wahyudi memandang sejak awal istilah “pembinaan ideologi” sendiri memang sudah kontroversi. Menurutnya istilah tersebut jauh dari standar masyarakat demokratis yang sehat.
Kendati demikian dengan melihat tantangan kehidupan negara dan bangsa hari ini, dan di masa depan, pemahaman akan ideologi bangsa menjadi sesuatu yang penting dipahami oleh masyarakat melalui hadirnya BPIP.
Namun kembali lagi dalam era demokratisasi seperti sekarang, pemerintah perlu mengembangkan ideologi Pancasila dengan redefinisi yang berbeda dari cara pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru.
2 Komentar