Readtimes.id–“BPIP menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh masyarakat sekaligus permohonan maaf, apabila kegiatan tersebut kurang sesuai yang diharapkan”.
Berikut adalah pernyataan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Karjono, Plt Sekretaris Umum Utama BPIP, pasca kontroversi yang ditimbulkan lewat lomba penulisan artikel yang mengangkat tema ‘Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’ dan ‘Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam’.
Ini menjadi kali kedua BPIP yang dibentuk era Presiden Jokowi itu minta maaf setelah menimbulkan kontroversi di tengah publik. Tahun lalu, melalui Yudian Wahyudi, Kepala BPIP, lembaga tersebut juga minta maaf atas kegaduhan yang ditimbulkan terkait pernyataan Yudian yang menyebutkan agama adalah musuh Pancasila.
Baca Juga : BPIP Kontroversi Tiada Henti
“Ya saya berjanji ini. Jadi tidak akan ada lagi nanti kontroversi saya sebagai pribadi, yang itu atas nama BPIP. Mungkin kalau saya menguji disertasi itu terbatas di ruang, InsyaAllah seperti itu,” ujarnya saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI, Februari tahun lalu seperti yang ditulis sejumlah media.
Bahkan tidak berhenti di situ, Yudian menegaskan tidak akan lagi membuat pernyataan resmi secara pribadi mengatasnamakan lembaganya di depan media, namun memakai humas.
Menanggapi kontroversi BPIP yang selau berujung maaf tersebut, Mikhael Dua, pakar filsafat dan etika Universitas Atma Jaya mengungkapkan bahwa hal ini tidak terlepas dari pemahaman pihak-pihak dalam BPIP tentang Pancasila yang hanya sebatas ideologi saja, sehingga berujung pada pendekatan yang digunakan juga terlalu bersifat ideologis. Hal ini bertentangan dengan makna Pancasila yang dimaksud oleh Soekarno yang memandang bahwa Pancasila itu bukan sekedar ideologi semata, melainkan cara hidup sebagai bangsa.
“Ini yang kemudian perlu dipahami terlebih dahulu oleh orang-orang yang ada di dalam BPIP jika mereka ingin mengenalkan Pancasila ke masyarakat. Caranya dengan turun berdialog dengan masyarakat, bersentuhan dengan realitas sosial karena Pancasila bukan sekadar ideologi, tapi cara hidup sebagai bangsa, ” terangnya.
Sehingga penting meletakkan orang-orang yang memahami fenomena sosial di dalam tubuh BPIP untuk kemudian mampu menyusun sebuah program atau kegiatan yang dapat secara langsung bersentuhan dengan masyarkat di bawah.
Lebih dari itu, terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan, menurut Mikhael Indonesia masih membutuhkan BPIP untuk tanda atau simbol bahwa bangsa ini masih punya Pancasila.
“Kalau hanya dipelajari mungkin masih lupa, berbeda dengan adanya BPIP yang dapat diibaratkan sebagai tugu peringatan bahwa kita masih memiliki Pancasila, dan juga diingat sebagai lembaga yang secara serius berpikir tentang Pancasila,” pungkasnya
Tambahkan Komentar