Readtimes.id- Persoalan stunting berarti luas, termasuk anemia pada remaja yang perlu upaya strategi untuk mengendalikannya.
Kasus balita dan anak, pada kondisi Anemia Defisiensi Zat Besi (ADB) bermula pada kekurangan gizi mikro pada 1.000 hari pertama kehidupan. Hal ini dapat berpengaruh pada tumbuh kembang anak terganggu, aktivitas fisik maupun kreativitas serta daya tahan tubuh menurun yang dapat meningkatkan risiko infeksi.
Sekitar 50%-60% angka anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi atau biasa disebut Anemia Defisiensi Besi (ADB). Dampak negatif yang diakibatkan oleh anemia berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia lintas generasi.
Lebih menyedihkan lagi, menurut data Ridkedas 2018, angka stunting diIndonesia mencapai peringkat 4 dunia. Sedangkan, 48,9% ibu hamil, 32% remaja 15-24% dan 38,5% balita mengalami anemia. Secara global, sekitar 50-60% angka anemia disebabkan oleh defisensi zat besi atau biasa disebut ADB.
Pada kasus remaja, ADB dapat menurunkan produktivitas dan kemampuan akademis. Kondisi kehamilan usia remaja bagi ibu yang mengalami Anemia Defisiensi Zat Besi, rentan terhadap keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi.
Bahaya anemia salah satu peyebab sejumlah persoalan gizi stunting. Pada kondisi anemia berisiko melahirkan bayi stunting, berat badan rendah, komplikasi saat melahirkan dan risiko lainnya. Serta dapat terjadi pada lintas generasi dan diturunkan sejak remaja, ibu hamil, anak dan seterusnya .
Ketua Prodi Gizi FKM Unhas, Dr. dr. Citrakesumasari, M.Kes., Sp.GK mengatakan, pentingnya menyiapkan kesehatan yang prima sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Hampir 50% kasus stunting terjadi dari proses kehamilan. Prosesnya harus dikawal sejak dini dengan tertib dan disiplin.
Pada prinsipnya kita mengoptimalkan 1000 hari pertama kehidupan, dimana periode ini adalah saat hamil hingga usia bayi 2 tahun.
“Untuk mencegah stunting sejak dini, harus mempersiapkan remaja putri sebelum memasuki pernikahan. Jadi saat calon pengantin mendaftar di KUA itu moment yang bisa digunakan untuk edukasi. Saya menyebutnya sekolah calon ibu. Sehingga sejak awal perempuan sudah dibekali pengetahuan terkait pencegahan stunting, dan calon suaminya sudah ada pengetahuan dasar bagaimana mendukung istrinya kelak,” ujarnya kepada readtimes.id, Sabtu, 6 Februari 2021.
Kehamilan, melahirkan dan menyusui itu memang kodrat tetapi support dari suami, anggota keluarga, dan pemerintah itu sangat penting. Misalnya bagaimana mengatur beban kerja rumah tangga. Memastikan ibu hamil dan ibu menyusui terpenuhi kebutuhannya, bukan hanya makan dan minum. Mentalnya harus di support agar tetap Bahagia, karena stress tidak baik ibu hamil dan bayinya.
“Mengasuhan bayi atau anak di dalam rumah tangga, perlukan ada support dari anggota keluarga misalnya suami itu sangat penting,”
Memberi ASI Eksklusif kepada bayi bukan hanya agar sehat, karena selain zat gizi dan hubungan keeratan antara ibu dan anak (bonding) didapatkan. ASI juga memiliki fungsi membangun kekebalan dan bahkan memiliki bahan aktif untuk anti kanker.
“Dalam masyarakat Islam, memberikan ASI pada bayi adalah ibadah, karena secara eksplisit disebutkan dalam alquran, bahwa susuilah anakmu dan untuk penyempurnaanya sampai 2 tahun,” tambah Dr Citra
Di sejumlah negara maju, para calon pengantin menjadikan prakonsepsi sebagai prioritas sebelum menuju kejenjang pelaminan. Dan sebelum proses kehamilan harus terlebih dahulu cek kesehatan. Prakonsepsi yaitu minum asam folat, periksa hb (hemoglobin), minum tablet tambah darah gratis kalau di puskesmas, sedangkan suami perlu mengurangi rokok.
Meski rentan terkena anemia, Anda sebagai perempuan bisa mencegah dan menanggulanginya sejak dini atau sebelum hamil agar tak anemia saat hamil. Misalnya dengan mengonsumsi pangan hewani, seperti hati, daging unggas, dan ikan. Kemudian sayuran hijau seperti bayam, kangkung, daun singkong, daun kelor, tahu, tempe, dan kacang-kacangan.
Diketahui, Pemerintah menargetkan tingkat prevalensi stunting di Indonesia bisa turun menjadi 14% pada 2024. Pada 2019, tingkat prevalensinya sudah mencapai 27,9%, menurun dari 37% pada 2013. Namun, tren penurunan itu dinilai belum cukup.
Data kementrian kesehatan, menyebutkan bahwa, pemberian ASI eksklusif pada anak, usia enam bulan baru mencakup 37 persen. MPASI di usia 18 bulan belum mencapai 40 persen, sedangkan cakupan imunisasi dasar lengkap, baru menyentuh angka 57,9 persen, serta akses air bersih tidak sampai 50 persen.
Masih tingginya kasus Anemia 49 persen dan anemia remaja 84 mencapai 84 persen. Angka perkawinan anak dan hamil dalam usia muda dibawah 18 tahun, masih tinggi di 435 kabupaten di Indonesia. Pada usia 20 tahun, yang cenderung belum matang dan belum memiliki pengetahuan cukup mengenai kehamilan dan kebutuhan gizi maksimal diusia 21 tahun.
Tambahkan Komentar