Readtimes.id– “Kejahatan adalah bayangan dari peradaban,” nampaknya menjadi istilah yang relevan untuk menggambarkan kondisi Indonesia hari ini, yang tengah bergelut dengan pandemi Covid-19.
Bagaimana tidak, di tengah kesulitan juga tuntutan akan perubahan hampir pada seluruh aspek kehidupan masyarakat pasca Covid-19 menyerang, masih saja ada oknum yang tega melakukan tindakan yang dapat merugikan nyawa sesama demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Tidak cukup dengan kehadiran masker palsu di awal tahun ketika kebutuhan masker di masyarakat meningkat karena Covid -19, kini hadir pula sertifikat vaksin palsu di saat gencar-gencarnya kampanye vaksinasi nasional untuk mengejar herd immunity oleh pemerintah.
Berawal dari uji coba kebijakan sertifikat vaksin sebagai syarat untuk mengakses tempat umum juga syarat bepergian yang telah disinggung oleh Koordinator PPKM Darurat Wilayah Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah konferensi pers virtual belum lama ini, setidaknya sudah ada oknum yang telah diamankan aparat kepolisian terkait jasa pembuatan sertifikat palsu.
Di Bogor belum lama ini misalnya, Polres Pelabuhan Tanjung Priok mengamankan sepasang suami-istri berinisial AEP dan TS karena praktek pembuatan sertifikat vaksin palsu. Bermodalkan data fiktif, pelaku membuat surat sertifikat vaksin Covid-19 palsu menggunakan jenis kartu dengan memanipulasi ID number dan barcode pada sertifikat tersebut.
Adanya Kesempatan
Pakar kriminologi Bagus Sudarmanto kepada readtimes.id menerangkan bahwa kejahatan dalam bentuk pembuatan sertifikat vaksin palsu sejatinya tidak lepas dari adanya niat dan kesempatan.
Menurutnya, bagi pihak-pihak yang mempunyai kecenderungan ‘menyimpang’, momen seperti ini merupakan peluang besar juga rasional.
“Jadi memalsukan sertifikat vaksin Covid-19 itu merupakan tindakan aktor yang sudah didasari pertimbangan rasional — dia sadar untung rugi dan resikonya. Pendek kata sudah dikalkulasi,” terang Bagus.
Lebih jauh munculnya pemalsuan sertifikat vaksin ini juga dipandang sebagai strategi adaptif kalangan tertentu yang anti-vaksin namun dipaksa keadaan untuk melakukan perjalanan. Seperti yang kemudian dijelaskan antropolog Universitas Khairun, Yanuardi Syukur.
Selain itu, lekatnya ‘simple-minded’ dari sebagian masyarakat yang cenderung ingin mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalah juga dipandang sebagai sebab lain munculnya praktik pemalsuan sertifikat vaksin.
Dihubungi secara terpisah, Guru besar kebijakan publik Universitas Hasanuddin, Deddy T. Tikson memandang bahwa munculnya jasa pembuat sertifikat palsu tidak lain karena tingginya permintaan jumlah sertifikat vaksin tidak berimbang dengan kemudahan akses serta kelangkaan vaksin seperti yang kini terjadi di sejumlah daerah.
” Hukumnya kan ketika demand itu meningkat maka supply harus memenuhi demand. Ketika sertifikat vaksin legal sulit didapatkan makanya yang muncul adalah sertifikat bodong sebagai alternatif,” terangnya.
Oleh karenanya, menurut pria yang kini menjabat dewan ahli Lembaga Studi Kebijakan Publik ( LSKP) ini, sebelum menurunkan kebijakan sertifikat vaksin menjadi prasyarat akses ke tempat publik maupun perjalanan, alangkah baiknya memastikan ketersediaan stok vaksin di Tanah Air lebih dahulu.
Seperti yang diketahui belakangan banyak masyarakat yang mengeluh di sejumlah daerah karena sulitnya mendapatkan vaksin.
3 Komentar