Readtimes.id– Skandal kasus korupsi yang menimpa Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah, sekali lagi membuka mata publik bahwa jabatan Kepala Daerah di Indonesia tak pernah luput dari lingkaran “rent seeking” yang senantiasa menghubungkannya dengan birokrasi dan pengusaha yang mencari untung dari sisi ekonomi melalui monopoli proyek.
Berawal dari permohonan perizinan penggarapan sebuah proyek, para pengusaha atau kontraktor ini lantas mendekati para penguasa (red. Kepala Daerah) melalui para pejabat birokrasinya untuk lantas mengatur hal -hal yang dapat digunakan untuk mempermudah keluarnya izin penggarapan proyek. Hal ini termasuk pemberian ” uang pelicin” atau uang “tanda terimakasih” yang berujung pada praktik suap maupun gratifikasi seperti yang dialami oleh Nurdin Abdullah dan beberapa Kepala Daerah yang telah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) sebelumnya.
Hal ini yang kemudian berusaha digambarkan secara eksklusif oleh Bagus Sudarmanto, Kriminolog dari Universitas Indonesia pada readtimes.id menyoal kasus korupsi Kepala Daerah yang senantiasa menggandeng para kontraktor korup
“Dalam kriminologi, korupsi amat lekat dengan pertimbangan rasional, dalam konteks ini untung rugi sebagai ‘biaya’ dari bisnis. Misalnya, jika proses perizinan secara formal akan memakan waktu lama, yang kemudian berdampak pada biaya, maka bisa saja dalam kalkulasi para kontraktor tersebut, menyuap pejabat yang bersangkutan menjadi jalan yang paling efektif dan cost efficient ” terangnya
Dalam penjelasannya pihaknya juga mengatakan bahwa pada dasarnya skandal kasus korupsi yang melibatkan kerah putih sejatinya tidak dapat dilihat sebagai suatu fenomena yang berdiri sendiri. Melainkan sesuatu yang melalui proses belajar yang komprehensif oleh para pelakunya, mulai dari modus hingga rasionalisasinya.
Ketika disinggung mengenai apakah skandal lingkaran rent seeking yang melibatkan penguasa, pengusaha dan birokrasi ini adalah sebuah fenomena negara berkembang, Bagus Sudarmanto melihat ini adalah sesuatu yang umum terjadi pada setiap negara jika itu dilihat dari pandangan rasional, analisa cost benefit atas keputusan bisnis.
Namun mengapa praktiknya marak terjadi di negara berkembang karena korupsi dan suap itu sudah demikian membudaya di semua lapisan, bahkan sampai memasuki pada sistem peradilan pidana itu sendiri. Dan sudah menjadi rahasia umum seperti yang terjadi di Indonesia
Bagaimana cara penanganannya ?
Menurut Kriminolog sekaligus wartawan senior di media ternama di Jakarta ini para penegak hukum harus kembali mengenali faktor -faktor pemicu tindakan korup atau yang yang kemudian disebut sebagai fraud triangle yaitu pressure, opportunity, dan rationalization oleh Donal R Cressey (1950).
Para penegak hukum harus memahami bahwa tekanan (pressure) dapat muncul baik dalam konteks tekanan pribadi dan sosial pelaku, maupun tekanan secara sistemik yang kemudian memberi ruang pada ‘solusi alternatif’. Kesempatan ( oppurtunity) dapat muncul sebagai konsekuensi dari tekanan, begitupula lemahnya oversight dalam sistem perizinan, proyek dan tender sehingga mudah bagi para pelaku untuk melakukan persekongkolan jahat. Rasionalisasi tentu lekat dengan pertimbangan cost benefit dari biaya bisnis (cost of doing bussiness)
Ini semua perlu dikenali dengan baik oleh para penegak hukum agar penanganan kasus korupsi di tataran pengambil kebijakan yang melibat birokrasi dan pengusaha dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.
4 Komentar