Judul : Di Depan Hukum dan Cerita Lain Franz Kafka dalam 13 Bahasa Daerah
Penulis : Franz Kafka
Penerjemah : Nommensen Douw dkk
Penerbit : Jualan Buku Sastra
Tahun : Juli 2024
Tebal : 174 halaman
Franz Kafka, bagi pembaca Indonesia, adalah nama yang terasa dekat kendati sosoknya berasal dari tempat yang jauh. Bayangan tentang serangga besar serupa kecoa raksasa senantiasa mengikuti acap kali namanya disebut. Kafka adalah kerumitan birokrasi, hukum yang nyaris absurd, hewan-hewan yang dapat berbicara dan berpikir, surat-surat gugatan kepada ayah sendiri. Begitulah Kafka dipahami. Kurang lebih!
Sejak pertama kali novel “Metamorfosis” diterbitkan pada 1912 di Jerman, nama Franz Kafka lamat-lamat dinobatkan sebagai salah satu peletak dasar sastra modern dari Jerman. Tak bisa dipungkiri beberapa sastrawan dunia mengaku terpengaruh oleh karya-karya Franz Kafka, sebut saja diantara mereka yang mengaku mengambil inspirasi dari karyanya: Samuel Beckett, Albert Camus, Jean Paul Sartre, Gabriel Garcia Marquez, Haruki Murakami, dan lain-lain.
Di Indonesia, karya-karya Franz Kafka mulai diterjemahkan, dibaca, dan diperbincangkan setidaknya pasca reformasi bergulir. Karya Kafka penuh misteri, bagi sebagian orang terasa berat, gelap, dan absurd. Akan tetapi, entah kenapa, apa yang diuliknya dalam karya-karyanya selalu memiliki, benang merah dengan fenomena sosial, hukum, politik, hingga individu masa sekarang.
Bukti betapa pembaca Kafka di Indonesia kian meluas dan aktif adalah pada Juli 2024 ini, tepat 100 tahun sejak kematiannya pada 3 Juni 1924 lampau, tiga cerita pendeknya yang terkenal diterjemahkan ke dalam 13 bahasa daerah yang ada di Indonesia. “Di Depan Hukum”, “Sebuah Persilangan”, dan “Sang Penunggang Ember” kini bisa dibaca dalam bahasa Papua Suku Mee Idakebo Dogiyae, Melayu Ambon, Sumbawa, Sasak Lombok, Dayak Banyaduq, Bali, Madura, Jawa, Sunda, Lampung, Minangkabau, Batak Toba, dan Aceh Suku Gayo.
Tentu tiga cerpen Kafka yang dipilih itu istimewa, tapi yang lebih istimewa adalah gagasan untuk menerjemahkan karya-karya tersebut ke dalam bahasa daerah. Penggagasnya, Sigit Susanto—pembaca suntuk karya-karya Kafka sekaligus penerjemah beberapa karya Kafka ke dalam Bahasa Indonesia langsung dari Bahasa Jerman—barangkali sadar betul bahwa bahasa dapat menjadi jembatan yang akan menghantarkan dan memperkenalkan Kafka ke dunia yang lebih luas lagi.
“…Di Depan Hukum saya pilih dengan pertimbangan cerpen ini sangat membetot nalar, di mana orang desa yang polos hendak masuk ke pengadilan dihadang oleh penjaga pintu. Ia ditakut-takuti bahwa penjaga pintu yang lain lebih berkuasa. Orang des aitu patuh dan menunggu di depan pintu, hingga bertahun-tahun, sampai akhirnya meninggal dan pintu itu ditutup.”
Begitu Sigit Susanto memulai penjelasannya, mengapa memilih tiga cerpen tersebut untuk diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Sementara pertimbangan memilih cerpen “Sebuah Persilangan” adalah karena Kafka kerap kali menghadirkan binatang dalam beberapa karyanya, yang paling mudah ditunjukkan adalah Metamorfosis yang tokoh utamanya berubah menjadi kecoa raksasa. “Menurut Kafka, manusia itu kini sudah semakin dipenjara, antar manusia semakin sulit berhubungan. Kemudian timbul kerinduan baru manusia terhadap binatang,” tulis Sigit Susanto.
Dan cerpen ketiga, “Sang Penunggang Ember” berkisah hal sederhana namun berangkat dari situasi yang tidak sederhana. Cerpen ketiga ini tentang seseorang yang kehabisan arang lalu pergilah dia mencari arang, namun sambil menaiki ember. “Kafka hendak menggambarkan dampak Perang Dunia I yang dirasakan warga, terutama jika musim dingin tiba, satu-satunya penghangat ruangan di zaman itu adalah arang,” jelas Sigit Susanto.
Proyek penerjemahan tiga cerpen Franz Kafka ini dikerjakan selama berbulan-bulan, mengajak kolaborasi teman-teman dekat sang inisiator sendiri, Sigit Susanto. Penulis resensi ini sendiri juga turut terlibat dengan ikut menerjemahkan ke dalam Bahasa Sumbawa, bahasa Ibunya. Sangat terasa betapa panjang napas sang penggagas untuk mewujudkan proyek ini menjadi kenyataan.
Dan, ya, proyek ini menjadi nyata. “Di Depan Hukum & Cerita Lain Franz Kafka dalam 13 Bahasa Daerah” akhirnya terbit dan naik cetak pada Juli ini, tepat pada 100 tahun kematian Franz Kafka. Dan memang, seperti tertulis pada cover bawah buku, ini memang dimaksudkan untuk “Memperingati 100 Tahun Kematian Franz Kafka (1924-2024).”
Terasa kurang adil jika kita terlampau menuntut kualitas pada karya ini, menimbang para penerjemahnya bukan penerjemah bahasa daerah yang profesional. Tapi sebagai inisiasi memulai menyebarkan karya-karya Kafka ke pembaca lebih luas lewat berbagai bahasa itu patut diberikan apresiasi. Jika usaha-usaha seperti ini kian banyak, baru bisa kita menuntut kualitas.
Kita bisa membaca pada pengantar penggagasnya dalam buku ini, betapa para penerjemah berusaha menghadapi tantangan seperti menemukan kata yang tepat dalam bahasa sendiri, menyesuaikan langgam bahasa aslinya dengan daya ungkap dalam bahasa daerah sendiri, budaya yang diceritakan berbeda dengan budaya di daerah sendiri (seperti budaya jual beli arang untuk menghangatkan diri di musim tertentu lazim di Eropa tapi tidak di negara tropis), dan sebagainya.
Alasan lain kenapa perlu menerjemahkan karya Kafka ke dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia adalah untuk kepentingan bahasa daerah itu sendiri. Sigit Susanto mengatakan bahwa ini upaya melestarikan bahasa daerah kita sendiri yang umurnya lebih tua daripada umur bahasa Indonesia itu sendiri. “Tugas kita menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tak lupa tetap merawat dan membumikan bahasa daerah kita sendiri,” begitu tulis Sigit menjelang akhir kata pengantarnya.
Kepada pembaca Franz Kafka di Indonesia, selamat memperingati 100 tahun kematiannya pada Juli 2024 ini!
Tambahkan Komentar