Judul : Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang
Penulis : Luis Sepulveda
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : Oktober 2020
Tebal : vi + 90 hlm
Luis Sepulveda memang pandai bercerita dan berdongeng. Kali ini, penulis asal Cile yang meninggal 2020 silam karena Covid-19 ini, hadir dengan novela fabel yang memikat dan menggugah: “Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang”. Novela fabel ini memang tipis (hanya 90 halaman), ringan dan sangat menghibur—namun demikian, isu lingkungan dengan manusia sebagai ‘terdakwa-pengrusak’-nya kental hadir pada beberapa halaman.
Dalam sekali duduk sambil menyeruput kopi atau menikmati sajian penganan, novela ini dapat menarik kita pada arus narasinya yang sederhana terkadang juga kocak. Alurnya yang bergerak maju diisi dengan dialog antar-kucing yang mengharukan dan menginspirasi.
Keseluruhan kisahnya sebetulnya sederhana belaka: tentang seekor kucing hitam bernama Zorbas yang berupaya keras memenuhi janjinya kepada seekor burung camar yang meninggal setelah lelah terbang dan tak mampu lagi melanjutkan perjalanan karena sayapnya lengket terkena tumpahan minyak dari kapal tanker yang dioperasikan manusia.
Zorbas berjanji akan menjaga telur sang camar, dan jika menetas, anak camar tersebut akan dirawat dan diajar terbang oleh Zorbas—ya, seekor kucing mengajar seekor burung untuk bisa terbang.
Nah, seluruh bab berikutnya berisi gambaran upaya si Zorbas menunggui si telur menetas, lalu memelihara dan menjaganya serta mengajari si anak burung—yang kelak dinamakan Fortuna—untuk bisa terbang. Dalam upaya super keras dan tidak mudah ini, Zorbas dibantu oleh kucing lain. Tiga di antara kucing lain yang membantunya itu bernama: Kolonel, Secretario, dan Profesor.
Menurut hemat saya, buku ini tentang kasih sayang dan solidaritas bangsa binatang (dalam hal ini bangsa kucing) terhadap jenis binatang lain yang terancam punah karena ulah manusia pada lingkungan.
Gugatan Pada Aktivitas Manusia Merusak Alam
Kisah novela fabel tentang si kucing hitam bernama Zorbas ini berlatar lingkungan pelabuhan yang khas. Makhluk-makhluknya digambarkan oleh si narator sebagai makhluk yang penuh solidaritas dan senang membantu sama lain—termasuk bangsa kucing pelabuhan. Sebab itulah, si Zorbas, kucing hitam dalam cerita ini, nyaris tak pernah merasa kesepian dan selalu dikelilingi kucing-kucing lain yang siap membantu menyelesaikan masalah-masalahnya—ada Kucing Profesor yang siap membantu dengan kitab ensiklopedia andalannya; ada kucing Kolonel dan Secretario yang selalu ada disisinya. Jadi, memang benar, seperti dikatakan si Kucing Kolonel, bahwa “masalah satu kucing di pelabuhan ini adalah masalah semua kucing di pelabuhan ini.”
Namun demikian, kisah novela ini tidak melulu berkisar pada cerita menggugah si Zorbas dan teman-temannya dalam upaya mengajar si anak burung camar bernama Fortuna itu untuk bisa terbang. Namun, akar masalah sejatinya adalah adanya aktivitas manusia yang merusak alam—khususnya alam bahari atau laut.
Tokoh-tokoh kucing dalam novela ini, betapapun solidnya mereka, tetap menyadari bahwa aktivitas manusia saat ini banyak merusak dan merugikan makhluk lain seperti hewan kucing seperti mereka. Mari kita simak keluhan si Kucing bernama Kolonel ini, “…Dan sekarang kita ucapkan selamat tinggal kepada camar ini, korban bencana yang disebabkan oleh manusia…”(hlm 38).
Tidak sampai di sini, masih dari Kucing bernama Kolonel di atas, lagi-lagi manusia disebut-sebut sebagai pihak yang merusak alam atau lingkungan. Coba kita simak kalimatnya, “Manusia, sayangnya, tak bisa ditebak. Kerap Kali dengan niat terbaik mereka malah menyebabkan kerusakan malah menyebabkan kerusakan terberat,” Kolonel memvonis. (hlm 54).
Lalu ada tokoh lain bernama Banyubiru, Kucing Pelabuhan yang memiliki banyak pengetahuan tentang dunia bahari, yang geram pada makhluk bernama manusia. “Demi tinta sotong. Hal-hal mengerikan terjadi di laut. Kadang aku berpikir apa manusia memang benar-benar sudah gila, sebab mereka seperti ingin mengubah lautan menjadi tempat pembuangan sampah raksasa…” Banyubiru bercerita geram (hlm 62).
Begitulah. Novela fabel super ringkas nan menghibur dan menggugah ini memang berpusat pada usaha inspiratif dan penuh solidaritas dunia kucing dalam menangani masalah bangsa binatang lain—namun akar masalah sejatinya tetap ada pada aktivitas manusia yang destruktif terhadap alam. Barangkali detail informasi tentang dunia laut dalam novela ini berangkat dari fakta penulisnya—Luis Sepulveda—yang menjadi awak kapal Greenpeace dan giat dalam kampanye lingkungan hidup.
5 Komentar