Penulis : Ishaq Rahman
Saya trenyuh membaca berita pada Kamis (28/1) sore. Indonesia disetarakan dengan Gambia, negara terkecil di Benua Afrika. Negara ini berbatasan dengan Republik Senegal di Utara, Timur, dan Selatan. Di sebelah barat adalah Samudera Atlantik. Luas Gambia 10.500 km2, dan penduduknya 2,3 juta jiwa. Dari aspek ini tentu saja jauh beda dibanding Indonesia.
Gambia mengalami masa-masa kelam sebagai negara modern. Diberi kemerdekaan oleh Inggris pada 1965, mengadopsi konstitusi Republik pada 1970. Presiden dipilih oleh Majelis Nasional (waktu itu belum pemilu langsung) adalah Sir Dawda Jawara. Pemilu digelar rutin pada 1972, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Dawda terus saja terpilih. Ia berkuasa 24 tahun.
Akibat ekonomi buruk ditambah tudingan korupsi, pada 1981 militer Gambia mencoba kudeta. Tapi Dawda tidak diam. Ia meminjam militer tetangga, Republik Senegal, untuk melawan. Akibat konflik politik ini, diperkirakan 800 warga sipil tewas. Dawda menandatangani perjanjian Konfederasi Senegambia, untuk menggabungkan militer dan ekonomi kedua negara. Perjanjian ini bertahan 7 tahun. Pada 1989, Senegambia berakhir.
Setelah Dawda Jawara menang lagi pada pemilu 1992, rasa jenuh rakyat Gambia makin memuncak. Konstalasi internasional juga berubah. Perang dingin telah usai, basis dukungan global pemimpin-pemimpin despot (yang bertekad untuk tidak menjadi komunis) perlahan pudar. Maka, pada 1994, Presiden Dawda Jawara dimakzulkan. Kudeta militer kali ini berhasil, dipimpin seorang perwira muda berusia 29 tahun, Letnan Yahya Jammeh.
Dua tahun dibawah kendali junta militer, reformasi politik dilakukan. Pemilihan presiden secara langsung diadopsi. Namun sayang, Gambia belum membatasi masa jabatan Presiden. Pemilihan umum digelar pada 1996. Seperti dapat diduga, pemimpin junta militer Yahya Jammeh terpilih. Ia menjabat dan terus terpilih kembali pada pemilu 2001, 2006, dan 2011.
Pada pemilu 2016, Yahya Jammeh dikalahkan oleh pengusaha property yang tidak mempunyai pengalaman pemerintahan, Adama Barrow. Lagi-lagi, nampaknya rakyat jenuh dengan kepemimpinan tanpa variasi.
Beberapa fragmen kisah di atas memiliki sedikit kemiripan dengan Indonesia. Tentu saja itu tidak cukup untuk mensejajarkan kedua negara. Bahwa Indonesia pernah alami upaya kudeta berdarah yang gagal, tetapi tidak dua kali. Bahwa pernah ada Presiden berkuasa sampai puluhan tahun, tapi tidak sampai dua kali juga. Bangsa kita selalu belajar dari sejarah. Nampaknya Gambia tidak demikian. Kita tidaklah sejajar.
Di Indonesia sendiri, tidak banyak berita tentang Gambia. Apalagi, hubungan bilateral kita tidaklah dekat-dekat amat. Perwakilan Gambia di Indonesia hanya berupa “honorary consulate” (konsul kehormatan). Kantor simbolik tanpa struktur dan nyaris tidak memiliki fungsi signifikan. Sementara dari sisi Indonesia, hubungan bilateral dengan Gambia ditangani oleh Kedutaan Besar di Dakkar, Senegal.
Lalu hari Kamis kemarin, Transparency International Indonesia (TII) menggelar pengumuman hasil Corruption Perception Index (CPI) 2020. Hajatan paling ditunggu-tunggu oleh pegiat anti korupsi di Indonesia dan dunia. Pemerintah juga memantau serius. CPI merupakan alat ukur yang diterima luas, baik oleh pemerintah, swasta dan dunia usaha, penegak hukum, masyarakat sipil, akademisi, dan media.
Sungguh menyedihkan. Posisi Indonesia dalam CPI tahun ini memburuk. Tahun 2019 lalu, skor kita adalah 40 (indeks 0 terburuk, 100 terbaik), berada di urutan 85 negara terbersih. Tahun 2020, skor Indonesia adalah 37, di urutan 102 negara terbersih dari korupsi. Ini adalah penurunan terburuk pertama kali bagi Indonesia sejak 2008. Pada posisi ini, Indonesia sejajar dengan Gambia.
Fadjroel Rahman, Juru Bicara Presiden, menulis dalam pernyataan yang dikutip berbagai media: “Presiden Jokowi tegas untuk menciptakan pemerintahan antikorupsi”. Pernyataan yang ajaib, menunjukkan betapa komitmen kepala negara diabaikan oleh otoritas dibawahnya. Jika memang Presiden Jokowi tegas, mengapa CPI memburuk separah ini?
Saya menekuni isu antikorupsi sejak 2005. Indonesia memang riuh dengan adegan penangkapan koruptor. Sayangnya, jumlah koruptor ditangkap yang banyak tidak berarti persepsi korupsi membaik. Perilaku korup, baik pada skala “mega” maupun “petty” tetap ada di sana.
Sejak 2005, pemerintah mendorong Reformasi Birokrasi. Salah satu implementasinya dengan membangun Zona Integritas di setiap badan publik. Harapannya, badan publik tersebut akan menjadi Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). Sayangnya, kebanyakan badan publik membangun Zona Integritas secara artifisial saja: wujudnya ada, tapi substansinya kosong.
Perilaku anti-korupsi digerakkan oleh dorongan dari dalam diri: di pikiran, di hati, di kebiasaan. Jika banyak manusia memiliki penggerak ini di dalam dirinya, mereka membentuk budaya anti-korupsi. Untuk itu, perlu ada nilai integritas yang tertanam.
Bangsa ini membutuhkan instalasi integritas publik. Seperti vaksinasi, instalasi integritas harusnya menjadi kebijakan massif. Sehingga, suatu saat nanti, pernyataan Juru Bicara Presiden tidak lagi terdengar ajaib-ajaib. Dan Indonesia tidak lagi disetarakan dengan Gambia.(*)
Ishaq Rahman. Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin. Twitter/IG: @thepappito
Tambahkan Komentar