
Readtimes.id– Kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy, anak mantan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan terhadap David, menambah panjang jumlah kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Tanah Air.
Seperti yang diketahui sebelumnya, pada Januari lalu, heboh kasus pembunuhan oleh dua remaja berusia 14 dan 17 tahun di Makassar. Keduanya tergiur dengan besarnya harga jual organ manusia hingga nekat berbuat keji.
Berikutnya kekerasan juga terjadi pada November tahun lalu, Indonesia kembali digemparkan dengan video perundungan dengan kekerasan oleh siswa SMP di Kota Bandung. Masih di bulan yang sama, viral sebuah video seorang siswi SD mendapat kekerasan dari temannya di Ternate.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah ada apa dengan remaja kita hari ini? Mengapa mereka rentan terlibat dalam aksi kekerasan?
Praktisi psikologi Aninda, MPsi.T kepada Readtimes.id, mengungkapkan hal tersebut tak lepas dari dorongan sosial, baik dari lingkungan pertemanan maupun media sosial. Dua hal tersebut kemudian bersinergi dengan dorongan biologis pada diri remaja.
“Yang pertama karena ada luapan perasaan superior, ditambah dengan faktor lingkungan (pertemanan dan media sosial) dan faktor keluarga yang menjadi dua faktor penyebab dari hal ini,” sebut Aninda.

Selain itu, adanya teman yang memberikan pujian terhadap tindakan seorang anak atau remaja juga bisa mendorong mereka untuk semakin memperlihatkan kemampuan superiornya.
Hal ini bisa dilihat dari para anak di bawah umur yang terlibat dalam aksi klitih di Yogyakarta. Lingkungan pertemanan yang saling mendukung membuat mereka berani melakukan aksi tersebut.
“Perilaku superior ini juga didukung erat dengan pujian yang diberikan oleh lingkungannya. Semakin dinilai hebat, biasanya remaja semakin ingin memperlihatkan kemampuan superiornya tersebut,” ujar Aninda.
Hal tersebut semakin diperparah dengan hadirnya media sosial. Para remaja bisa dengan mudah mendapat dukungan dan pujian melalui jumlah suka di setiap postingannya.
Dorongan sosial yang mereka peroleh tersebut pada akhirnya membuat para remaja tidak mampu memutuskan dengan jernih. Apalagi, prefrontal cortex, bagian otak untuk membuat keputusan dan mengontrol diri baru terbentuk sempurna di awal usia 20-an.
“Hal ini tidak beriringan dengan kemampuan berpikir remaja di mana prefrontal cortex (bagian otak untuk membuat keputusan) baru terbentuk sempurna di awal usia 20-an. Maka dari itu, perilaku superior ini seringkali tidak pada tempatnya,” jelas Aninda.
Tak hanya itu, menurut Aninda peran orang tua juga sangat diperlukan dalam mencegah anak dari perilaku kekerasan. Pun orang tua punya bertanggung jawab menanamkan nilai moral agar sang anak tak terjerumus dalam lingkar pertemanan yang salah.
“Sisi keluarga dapat menanamkan nilai moralitas pada diri remaja termasuk pemahaman akan hal-hal yg baik dan tidak baik, pendidikan agama sebagai pakem kehidupan, dan kontrol terhadap media sosial remaja,” pungkas Aninda.
Tambahkan Komentar