Mereka yang lahir, remaja, dan hidup pada tahun 1983-1997, pasti memiliki kenangan tentang sosok yang selalu tampil rapi berpakaian safari, lalaki rambut berminyak dengan belahan kiri lurus serta klimis. Belahan rambut yang menjadi trademark, sekaligus obsesi setiap orang tua yang punya anak laki-laki pada zaman Orde Baru yang selalu ingin anak laki-laki mereka, punya gaya rambut ala ‘Harmoko’!
Tentu setiap generasi yang lahir pada zaman Orde Baru, juga akrab dengan kalimat: “Menurut Petunjuk Bapak Presiden” yang selalu menghiasi siaran Pers layar kaca TVRI. Begitu pula berbagai akronim yang sampai saat ini, masih membekas dalam banyak ingatan, seperti ‘kelompencapir’ yang merupakan singkatan dari kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa, kata ‘safari Ramadhan’ ataupun istilah ‘ temu kader’ yang sampai sekarang masih digunakan oleh banyak instansi pemerintah daerah maupun partai politik.
Semua akronim dan istilah itu adalah ciptaan dari mantan Menteri Penerangan Orde Baru, Harmoko.
Ingatan dan jejak yang ditinggalkan oleh seorang Harmoko yang punya nama lengkap, Harun Muhammad Kohar, mantan Menteri Penerangan tiga periode Kabinet Pembangunan IV sampai dengan VI zaman Orde Baru sungguh sulit dilupakan. Karena Harmoko memang berhasil merepresentasikan wajah, mulut, dan suara pemerintah Orde Baru bahkan Presiden Soeharto.
Kemarin, Minggu 4 Juli 2021, sosok yang banyak menyimpan ingatan, kontroversi, sekaligus terkadang jenaka itu akhirnya tutup usia di umur 82 tahun di IGD RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Tentu banyak kenangan dan ingatan berharga yang bisa menjadi catatan bagi banyak generasi dari sosok kakek yang lahir di Nganjuk, Jawa Timur, 7 Februari 1939.
Kontroversi Harmoko
Begitu sering Harmoko tampil mengisi siaran pers TVRI. Bahkan terkadang memotong keasyikan menonton acara Aneka Ria Safari atau si Unyil yang langsung berganti dengan wajah Harmoko di kotak layar kaca, membuat banyak anak-anak kampung saya menggerutu dan serentak membuat koor paduan suara.
‘Huuu, Harmoko: Hari-hari omong kosong’!
Tidak dapat dipungkiri, rasa bosan akan kekuasaan Orde Baru yang begitu panjang, ikut pula menyeret Harmoko dalam pusaran kontroversi. Apalagi, sebagai menteri penerangan yang menjadi wajah, mulut dan suara pemerintah, Harmoko yang menjadi perpanjangan tangan Presiden Soeharto dipandang punya peran besar melakukan pembredelan bagi media yang bersebarangan dengan pemerintah seperti, Surat Kabar Sinar Harapan, Majalah Tempo, Tabloid Detik sampai Majalah Editor.
Pada masa Harmoko menjadi Menteri Penerangan, lewat aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers menyangkut kebijakan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Harmoko menerbitkan surat No.1/PER/MENPEN/1984 yang menjadi surat sakti yang mengancam pers pada zaman Orde Baru.
Surat sakti tetang kebijakan SIUPP inilah yang menurut banyak insan pers, menjadi senjata utama Harmoko dan rezim Orde Baru Soeharto menjadi alat kontrol terhadap kebebasan pers kala itu. Termasuk memberangus berbagai media yang memiliki suara kritis dan berbeda dengan rezim kekuasaan yang berkuasa.
Namun, Ibarat kisah Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung, kontroversi Harmoko pada ujung kekuasaan Orde Baru dan Soeharto merupakan catatan sejarah yang sulit untuk dilupakan. Ketika itu, Harmoko yang menjadi ketua MPR/DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) yang menjadi kekuatan utama Orde Baru, justru pada 18 Mei 1998 mengeluarkan keterangan pers dan meminta agar Soeharto mundur.
Padahal, pada 10 Maret 1998, sebagai Ketua MPR/DPR, Harmoko, sukses mengendalikan sidang Umum MPR untuk memperpanjang masa kepresidenan Soeharto dan meminta Soeharto menjadi Presiden kembali untuk periode 1998-2003. Namun, tidak cukup tiga bulan kemudian desakan demontrasi mahasiswa dan tekanan kerusuhan, akhirnya membuat Harmoko memilih sikap berbeda, menjatuhkan kekuasaan yang telah membesarkan dirinya selama ini.
Bapak Praktisi Dunia Komunikasi Indonesia
Terlepas dari segala kontroversi yang meliputi diri Harmoko dan era kekuasaan Orde Baru. Bagi saya, Harmoko juga merupakan simbol menarik dari kehidupan seorang praktisi dunia komunikasi Indonesia. Berdasarkan berbagai catatan, Harmoko sejak kecil memang memiliki mimpi yang berbeda dengan sejumlah anak-anak yang besar di zaman Orde Baru yang biasanya bercita-cita menjadi dokter atau tentara, Harmoko kecil justru punya cita-cita ingin menjadi wartawan dan memiliki koran sendiri.
Akhirnya, mimpi Harmoko tersebut menjadi kenyataan. Setelah lulus SMA pada awal tahun 1960-1965, Harmoko bekerja sebagai wartawan dan kartunis di Harian Merdeka dan Majalah Merdeka. Wartawan surat kabar API, Mingguan bahasa Jawa MERDIKO, Mingguan FAJAR dan TRISAKTI sampai akhirnya menjadi wartawan surat kabar Angkatan Bersenjata dan menjabat sebagai pimpinan redaksi mingguan MIMBAR KITA tahun 1968-1969, sampai akhirnya menjadi pimpinan umum atau pimpinan redaksi Surat Kabar Harian POS KOTA tahun 1970-1983.
Menurut catatan beberapa sumber, semenjak bekerja di surat kabar Angkatan Bersenjata tahun 1964 dari sana Harmoko mulai meniti karir politik. Memanfaatkan peluang kedekatannya dengan para jenderal dari kalangan militer, akhirnya pada tahun 1983 Harmoko berhasil menjadi bagian dari Rezim Soeharto dalam Kabinet Pembangunan IV, sebagai Menteri Penerangan Orde Baru dengan masa jabatan selama tiga periode.
Selain menekuni dunia jurnalistik, bagi saya, patut diakui, Harmoko merupakan sosok humas pemerintah terbaik selama republik ini berdiri. Karena sampai saat ini, kita belum pernah menemukan jejak Menteri Penerangan ataupun Menteri Komunikasi dan Informatika ataupun juru bicara Presiden setelah Harmoko yang mampu terekam begitu lekat dalam ingatan publik selain Harmoko.
Karena itu, bagi saya tidak salah jika kita menyematkan gelar Harmoko sebagai ‘Bapak Praktisi Ilmu Komunikasi Indonesia’!
1 Komentar