RT - readtimes.id

Indonesia dalam Perubahan Geopolitik Afghanistan

Readtimes.id– Sejenak  mata dunia dialihkan dari pembahasan Covid-19  setelah Amerika Serikat (AS) dan koalisinya secara bertahap menarik pasukan militernya dari Afghanistan yang puncaknya Agustus lalu dan membiarkan Taliban kembali menduduki negara yang ibu kotanya di Kabul itu. 

Suasana nampak mencekam ketika semua penduduk memutuskan mengungsi dan enggan tinggal di negaranya mengenang masa-masa kelam ketika Taliban generasi pertama menduduki negara yang 99,7 persen penduduknya  muslim ini. Tidak hanya itu, bahkan Ashraf Ghani, Presiden  Afganistan era AS pun memilih untuk mengasingkan diri terbang ke Uni Emirat Arab ( UEA) bersama orang-orang kepercayaannya dengan dalih menghindari adanya pertumpahan darah.

Kini setelah Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban mengumumkan pemerintahan baru Emirat Islam Afghanistan (IEA)pada 8 September lalu, masa depan Afghanistan resmi berada di tangan Taliban.

Meskipun ini pemerintahan baru, namun isinya tidak sepenuhnya baru. Mereka yang mengisi 9 posisi penting di pemerintahan itu sebagian adalah orang yang sama di era Taliban 1.0, juga orang -orang yang sangat dikenal Amerika. Bahkan masuk dalam dalam list teroris Internasional. 

Kini di bawah  kepemimpinan Mohammad Hasan Akund yang tak lain adalah Wakil Perdana Menteri di era Taliban 1.0 yang pernah digulingkan oleh Amerika, kini Afghanistan mulai menata diri.  Pertama-tama dengan mencari legitimasi atau pengakuan dari negara lain untuk menguasai Ibu Kota Kabul yang saat ini dalam perlindungan Turki yang  dipercaya sebagai perwakilan negara-negara Islam sebagai negosiator dengan seluruh pemangku kepentingan pemerintahan Kabul, Taliban, Islamabad, Beijing hingga negara-negara Barat. 

Kebutuhan akan legitimasi ini pun terpenuhi ketika China melalui pertemuan Menteri Luar Negeri China dengan perwakilan Taliban belum lama ini memberikan dukungan.

Kendati demikian bergabungnya China bukan tanpa sebab, situasi regional Afghanistan yang belum sepenuhnya stabil setelah peralihan kekuasaan serta peralihan konsep negara dari republik Islam menjadi emirat Islam memberi China kesempatan untuk membawa warna berbeda dalam pendekatan terhadap tetangga yang berbatasan dengan Provinsi Xinjiang Uyghur tersebut, seperti yang dijelaskan oleh Ito Sumardi, Duta Besar Indonesia dalam diskusi yang bertajuk ” Perubahan Geopolitik dan Geostrategis Afghanistan dan Dampaknya Terhadap Indonesia ” pada  Rabu, (15/9) yang digelar oleh  Ikatan Alumni Lemhannas ( IKAL) Strategic Center.

Dalam hal ini, China memiliki kepentingan nasional yang sangat strategis yakni mengamankan proyek Belt and Road Initiative yang melewati daratan Pakistan hingga Afghanistan serta di saat yang sama kekhawatiran pengaruh terhadap suku Uyghur yang selama ini menjadi isu keamanan nasional.

Menurut Ito, sebagai negara muslim  perubahan geopolitik dan geostrategi di Afghanistan ini akan mempengaruhi Indonesia, terutama terkait  euforia glorifikasi  Taliban atas kemenangan perjuangan melawan AS dan pemerintah bentukannya. 

“Meskipun belum terlihat di permukaan indikasinya, namun perlu diwaspadai sel-sel tidur organisasi teroris, militan dan radikal yang bisa saja semakin terinspirasi dari kemenangan mereka,” terangnya

Hal ini berkaca pada pengalaman panjang Indonesia yang berhadapan dengan berbagai kelompok teroris, salah satu diantaranya adalah Jamaah Islamiyah. Meskipun dikabarkan telah bubar, namun tidak menutup kemungkinan dengan sumber daya manusia yang mumpuni, jaringan, ideologi keagamaan, kemampuan survival dan kemampuan penggalangan dana, gerakan serupa dapat muncul kembali dengan melihat apa yang terjadi di Afghanistan saat ini.

Sementara itu, Dubes RI untuk Afghanistan 2013-2016, Anshory Tadjudin, memandang selain gerakan teroris perubahan geopolitik Afghanistan secara tidak langsung bisa saja turut mewarnai konflik laut China Selatan dengan hengkangnya AS dari Afghanistan.

Kerja Sama 

Kendati demikian, bukan berarti sebagai negara yang memiliki cita-cita turut memperjuangkan perdamaian dunia, Indonesia lantas tidak mempunyai kemungkinan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Afghanistan di bawah kepemimpinan Taliban. 

Melihat meskipun belum ada kepastian bahwa Taliban era 2.0 lebih baik  dengan Taliban era 1.0, namun keputusan mereka untuk mencoba membuka diri dengan bernegosiasi bersama negara luar menampakkan bahwa mereka tidak lagi eksklusif dan sulit untuk didekati sehingga ajaran Islam yang lebih moderat sukar mendapatkan pintu masuk. Hal ini diungkapkan oleh pakar politik Islam Universitas Islam Alauddin, Muhammad Saleh Tajuddin pada readtimes.id 

“Kesempatan  Indonesia untuk bekerja sama dengan mereka dalam rangka menyebarkan nilai-nilai Islam yang lebih moderat masih punya ruang, karena selain gerakan Taliban sekarang lebih terbuka, akar sejarah mereka yang sebenarnya  berawal dari ajaran Islam yang moderat tentu bisa dijadikan landasan, ” terangnya. 

Untuk itu, menurutnya sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, Indonesia bisa menempuh jalur-jalur diplomatik untuk membuat  keadaan jauh lebih baik, terutama untuk mendukung perempuan Afghanistan  yang kini masih berjuang untuk merdeka.

Ona Mariani

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: