RT - readtimes.id

Perpres 68/2021, Penertiban Aturan Ala Jokowi

Readtimes.id– “Negara ini sudah kebanyakan peraturan, dan negara kita ini bukan negara peraturan. Semua diatur, semua diatur, malah terjerat sendiri”. 

Berikut adalah ucapan Presiden Jokowi, ketika memberikan sambutan Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forkopimda 2019, di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat. 

Saat itu ia mewanti-wanti seluruh jajaran kepala daerah agar tidak  membuat banyak peraturan yang sejatinya belum tentu dibutuhkan. Menurutnya, peraturan yang menumpuk akan membuat pemerintah tak bisa bergerak cepat. 

Ungkapan kerisauan Presiden tentang banjir peraturan di Tanah Air ini juga disampaikan di hadapan para menteri dan sejumlah kepala lembaga dalam setiap pertemuan atau rapat terbatas. Ini tidak lain karena mereka adalah pihak-pihak yang sering mengeluarkan ragam aturan tentang berbagai hal. 

Pada  tahun 2018 misalnya, tercatat ada sekitar 1.817 aturan Peraturan Menteri (Permen) dan peraturan kepala (Perka) lembaga. Sementara tahun 2019 tercatat ada 1.969 aturan yang didaftarkan dalam berita negara. Sedangkan tahun 2020 bertambah sekitar 1.800 aturan, dan 8 bulan pertama di tahun 2021 sudah ada 866  peraturan menteri (Permen)  dan peraturan kepala (Perka) lembaga. 

Tak tahan lagi dengan berlarut-larutnya masalah tumpang tindih aturan, akhirnya Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres)  68/2021 yang mewajibkan menteri dan kepala lembaga berkonsultasi sebelum menerbitkan aturan. 

Dalam Perpres ini juga menetapkan bahwa peraturan  yang dikeluarkan menteri atau pun kepala lembaga juga harus mendapatkan persetujuan dari Presiden terlebih dahulu. Artinya, Presiden bisa menolak rancangan yang akan dikeluarkan menteri atau pun kepala lembaga. 

Adapun kriteria Permen atau Perka yang diatur adalah, pertama, aturan yang berdampak luas bagi masyarakat. Kedua bersifat strategis. Ketiga lintas sektor atau lintas kementerian/lembaga. 

Tambah Beban Kerja

Peraturan yang menurut pakar kebijakan publik Universitas Hasanuddin,  Deddy T.Tikson, akan menambah beban kerja Presiden, dengan mengurusi hal-hal yang sejatinya secara hirarki merupakan tugas para pembantu Presiden.

Menurut Deddy, harusnya hal semacam itu bisa didelegasikan kepada menteri koordinator bidang yang bertugas mengatur para menteri. Tugas Presiden tidak lain hanya menetapkan garis peraturan yang sifatnya makro, sementara untuk khusus yang sifatnya operasional tetap berada pada ranah kementerian. 

“Ini bisa juga menandakan bahwa pemerintah selama ini tidak menjadikan Rancangan Pembangunan Jangka  Menengah Nasional (RPJMN)  sebagai acuan dalam membuat sejumlah aturan, sehingga yang terjadi adalah tumpang tindih aturan,” terangnya. 

Kendati demikian, menurut Deddy ini bisa juga diartikan sebaliknya bahwa RPJMN yang selama ini diikuti pada dasarnya belum memuat indikator-indikator pencapaian  yang jelas, sehingga pemerintah  melalui kementerian tidak ada pilihan selain membuat peraturan sendiri yang sifatnya situasional yang pada akhirnya juga tidak tepat sasaran.

Dan jika kemudian itu yang terjadi, maka menurut Deddy perlu ada pembahasan dan evaluasi terkait RPJMN yang idealnya memuat target makro dan sektoral, agar arah pembangunan negara pun jelas dan tidak ada lagi tumpang tindih aturan.

Avatar

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: