Readtimes.id– Kebakaran Lapas Tangerang pada Rabu (8/9) membuat pemerintah mengusulkan sejumlah rancangan undang -undang (RUU) untuk memperbaiki sistem peradilan pidana yang disinyalir menjadi sebab over kapasitas sejumlah lapas dan rumah tahanan di Tanah Air. Kelebihan kapasitas ini mengakibatkan sejumlah persoalan yang pada dasarnya melanggar hak-hak narapidana sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.
Adapun RUU yang diusulkan adalah RUU narkotika, RUU Kitab Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Pemasyarakatan. Dua dari tiga RUU yang sebenarnya pernah dibahas bahkan hampir disahkan oleh DPR, namun terhenti karena menuai kontra dari publik seperti RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan.
Dalam perkembangannya DPR saat ini tengah menunggu kepastian pemerintah dalam melanjutkan sejumlah pembahasan RUU yang sempat tertunda itu .
Pengajuan RUU dalam merespon situasi tertentu seperti ini sejatinya bukanlah pemandangan yang baru di Tanah Air. Memasukkan RUU baru di tengah berjalannya prolegnas prioritas tahunan pun juga demikian. Apalagi mengesahkan RUU yang sejatinya tidak pernah masuk dalam draf RUU prolegnas tahunan juga sejatinya sudah pernah terjadi, di tengah rapor merah DPR yang tidak pernah berhasil mencapai target prolegnas prioritas tahunan.
Mengutip majalah Parlementaria edisi 116 pada misalnya, pada periode 2009-2014, DPR hanya mampu menyelesaikan 69 RUU dari 352 RUU prolegnas prioritas, sementara untuk periode 2014-2019, dari 189 RUU prolegnas, DPR hanya mampu menyelesaikan 35 RUU.
“Itu namanya nafsu besar tenaga kurang,” kata Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM saat merespon hasil evaluasi prolegnas jangka menengah tahun 2015-2019.
Seperti yang diketahui DPR selalu mematok target tinggi untuk jumlah RUU yang masuk dalam prolegnas, yang belakangan tidak pernah dicapai dan meninggalkan pekerjaan rumah untuk DPR periode berikutnya.
Tidak Fokus
Selain pekerjaan rumah dari DPR periode sebelumnya, kesulitan wakil rakyat menyelesaikan sejumlah RUU prolegnas prioritas tahunan juga disebabkan karena adanya RUU kumulatif terbuka, yakni sejumlah RUU yang berada di luar prolegnas prioritas yang tak jarang juga menuntut untuk segera disahkan.
Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Sholikin mengatakan, dibukanya “kran” pembahasan RUU diluar prolegnas seperti yang diizinkan oleh UU No.15 Tahun 2019, menjadikan perencanaan prolegnas yang telah tersusun menjadi tidak terukur.
Menurutnya, Pasal 23 ayat (2) UU 15/2019 berdampak inkonsistensi perencanaan program legislasi.
“Dalam hal ini, prolegnas tidak dapat menjadi pedoman dalam melihat politik legislasi dalam lima tahun ke depan,” ujarnya dalam laman resmi PSHK.
Hal ini semakin bermasalah ketika RUU kumulatif terbuka ini sejatinya belum memuat beberapa indikator penting sebuah RUU layak untuk segera dibahas atau disahkan, seperti urgensi RUU, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup dan objek yang bakal diatur, dan hal lainnya yang biasa tertuang dalam sebuah naskah akademik.
Ketiadaan indikator penting di atas berpotensi menghambat proses pembahasan RUU yang sebenarnya telah masuk dalam draf RUU prolegnas prioritas yang urgen untuk segera disahkan.
Seperti yang terjadi dalam RUU Penghapusan Kekerasan seksual dan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (Kamtan Siber), adalah dua dari 16 RUU prolegnas yang terpaksa dihapus dari daftar prioritas tahun 2020. Saat itu DPR lebih memilih mengesahkan 13 RUU yang 10 diantaranya adalah RUU di luar prolegnas prioritas atau kumulatif terbuka.
Adapun salah satu RUU yang masuk prolegnas prioritas yang disahkan adalah tentang bea materai yang mungkin jarang ditemui dalam pembahasan publik. Dibandingkan dengan RUU penghapusan kekerasan seksual misalnya yang didesak publik untuk segera disahkan, bila melihat angka korban kekerasan seksual yang tiap tahun terus menunjukkan peningkatan.
Pakar politik Universitas Hasanuddin, Sukri, menilai meskipun secara aturan DPR tidak melanggar aturan karena tidak menyelesaikan RUU yang masuk dalam daftar prolegnas, namun tindakan DPR secara tidak langsung dapat menghambat terbentuknya payung hukum pada sejumlah persoalan genting yang terjadi di masyarakat, seperti penanganan kasus kekerasan seksual maupun urgensi perlindungan data pribadi di tengah maraknya serangan siber.
Oleh sebab itu dibutuhkan adanya semacam sanksi untuk memastikan DPR tetap memprioritaskan RUU yang masuk dalam prolegnas meskipun di lain sisi tidak membatasi mereka dalam menyelesaikan RUU yang sifatnya situasional dan mendesak untuk segera disahkan seperti RUU Narkotika atau pun RUU tentang pemasyarakatan yang mencuat pasca terjadinya kebakaran Lapas di Tangerang.
“Jika ingin kerjanya terukur, masyarakat bisa membuat sanksi sosial dengan tidak memilih mereka kembali di periode berikutnya ketika mereka tidak mampu menuntaskan pekerjaan mereka dalam menyelesaikan seluruh RUU yang ada dalam prolegnas prioritas ,” pungkasnya.
Tambahkan Komentar