“Maha suci Allah, yang telah memberi jalan hambanya pada suatu malam dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah maha mendengar lagi maha melihat.”- (QS. Al-Isra: 1)
Islam merupakan agama yang lekat dengan kisah ‘perjalanan’ yang membedakan Islam dengan beberapa kepercayaan lain yang cenderung mencintai pertapaan, pengasingan dan penyendirian atau prilaku asketisme dengan melewatkan waktu melalui penolakan atas kenikmatan jasmani, sambil tekun beribadat dan merenungkan perkara-perkara rohani dalam mencari keagungan Ilahi.
Walau dalam Islam sendiri, peristiwa retret atau upaya mencari ketenangan batin melalui ‘tahannuts’ atau ‘tahannuf’ dalam bahasa yang lebih umum di Indonesia lebih dikenal sebagai ‘khalwat’ layaknya kisah Nabi di Gua Hira juga menjadi simbol penting. Bahkan momentum peneguhan Muhammad SAW, menjadi Nabi dan Rasul sekaligus menerima wahyu pertama, ketika sedang menjalani laku khalwat di Gua Hira.
Sebagai sebuah keyakinan yang bersifat holistik (menyeluruh), Islam tidak sekedar mengajarkan akan laku yang bersifat asketisme namun juga membawa ajaran yang bersifat lahiriyah. Simbolisasi dari praktik kesempurnaan perjalanan Islam itu sendiri telah dijelaskan dalam kisah perjalanan Rasullulah SAW lewat dua momentum pelajaran dan perayaan peristiwa sejarah besar Islam yakni lewat peristiwa Isra Mikraj dan momentum Hijrah.
Peristiwa Isra Mikraj oleh sebahagian besar ulama diyakini terjadi sebelum Rasullulah menjalani peristiwa Hijrah fisik dari Mekkah ke Madinah. Yakni, ketika Rasullah mesti melalui perjalanan ruhani dalam satu malam yang kemudian dikenal sebagai Lailat al-Mi’raj.
Pada perjalanan Isra Mikraj, Rasullulah dalam berbagai riwayat sedang melalui tahap ‘diperjalankan’ pada dua tempat yakni Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu perjalanan Mikraj Nabi Muhammad dinaikkan ke langit sampai ke Sidratulmuntaha, bertemu, berdialog dengan para Nabi, sampai pada akhirnya mendapat perintah langsung dari Allah untuk menunaikan shalat lima waktu.
Peristiwa Isra Mikraj secara simbolik adalah sebuah perjalanan ruhani. Ketika Rasullulah tanpa daya dan upaya, mesti menjalani perjalanan ruhani sebagai manusia pilihan yang hanya bisa menerima peristiwa ‘diperjalankan’. Sebagai penyaksi akan keagungan Allah, sebagai Maha Pencipta yang tidak terbatas akan ruang, waktu bahkan peristiwa dan kejadian di mana Allah dengan kehendak bebas yang dimiliki tidak mengenal batas apapun.
Pasca melalui momen perjalanan ruhani, sejarah mencatat bahwa kemudian Rasulullah mengalami fase perjalanan Hijrah. Secara harfiah, Hijrah berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat’. Dalam konteks sejarah, Hijrah adalah kegiatan perpindahan fisik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat beliau dari Makkah ke Madinah.
Jika Isra Mikraj adalah perjalanan ruhani, maka perjalanan Hijrah secara simbolik, bisa terbaca sebagai perjalanan ‘lahiriyah’ ketika Rasullulah berusaha menegakkan Islam sebagai sebuah ajaran di muka bumi. Lewat momentum Hijrah, Rasullulah memperluas dakwah sekaligus membangun kekuatan politis memperluas ajaran agung yang dibawa.
Melalui peristiwa Hijrah, umat Islam juga sedang belajar akan sifat asali manusia yang mesti melalui serangkaian peristiwa perjalanan fisik layaknya Rasullulah untuk menegakkan keyakinan, layaknya kisah perjalanan Rasullulah yang mesti melalui ratusan kilo meter untuk meninggalkan Mekkah lalu menuju Yastrib yang sekarang kita kenal sebagai kota Madinah untuk memperluas dukungan bagi dakwah Islam.
Lewat dua perjalanan tersebut yang bercerita tentang kisah perjalanan manusia agung tuntunan kita semua, Rasullulah SAW, pada dasarnya kita sedang belajar akan dua sisi perjalanan asali kita sebagai manusia yakni perjalanan ruhani dan perjalanan lahiriah. Dua perjalanan yang menjadi penanda cita-cita bangunan cita-cita kebangsaan kita, yakni bangunan jiwa dan badan, ruhani dan jasad sebagai manusia Indonesia.
1 Komentar