Judul : Perdagangan Lada Abad XVI
Penulis : P. Swantoro
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun : 2019
Tebal : x + 107 halaman
Apa yang membuat bangsa kolonial Eropa datang ke nusantara? “Rempah-rempah”, barangkali ini jawaban yang paling banyak diberikan orang. Di mana rempah-rempah itu? “Di Maluku”, itu jawaban sebagian besar kalangan. Maka terbayanglah cengkeh dan pala. Atau lada—tapi tunggu dulu, lada tidak tumbuh di Maluku. Ini jadi kesalahpahaman banyak orang.
Rempah-rempah tidak seluruhnya tumbuh di Maluku, bagian timur Indonesia sekarang. Lada justru berkembang di bagian barat nusantara, sebagian di tanah Jawa dan sebagiannya lagi di Sumatera. Dan jika kadung dikatakan cengkeh dan pala merupakan jenis rempah-rempah yang paling sohor dan paling diminati, itu memang benar tapi agak sedikit keliru: justru lada alias si merica pernah memimpin dan menguasai dunia rempah-rempah.
Itulah yang hendak dikatakan dan dibuktikan oleh Pollycarpus Swantoro lewat buku tipisnya, “Perdagangan Lada Abad XVII Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di Nusantara”. Swantoro siap dengan data-data dasar tapi penting mengenai dunia di seputar lada. Memang dengan sadar Swantoro tidak memaksudkan buku tipisnya ini sebagai kajian mendalam dengan analisa yang lebih tajam. Namun demikian, usahanya memberi pemahaman lebih jernih kepada kita tentang dunia lada bisa dikatakan berhasil.
Buku ini tergolong tipis, 107 halaman saja–sudah termasuk dengan lampiran catatan akhir dan daftar pustaka—terdiri dari tiga bab pendek-pendek: Bab I mengulik lada sebagai tanaman dan barang dagangan; Bab II mengudar lada dalam angka; sedangkan Bab III atau bagian akhir membahas lada, perdagangan, dan pemerintahan.
Dalam bab I, Swantoro menyajikan kepada kita secara ringkas perjalanan komoditas lada hingga jauh sebelum Eropa datang. Digambarkan di sini bagaimana panjang dan berliku-likunya perjalanan lada sebelum tiba di Eropa maupun di belahan dunia lain. Sementara pada bab 2 penulis buku ini menghamparkan ke hadapan kita angka-angka rigid namun kuat terkait permintaan dan persediaan lada dari tahun ke tahun, jumlah keuntungan yang didapatkan dari perdagangan lada, jumlah produksinya dan jumlah kebutuhan masyarakat Eropa akan lada per tahun, dan sebagainya. Pada bab 3 atau bagian terakhir, buku ini mengulas konflik ekonomi dan politik antara bangsa Eropa dan penguasa lokal pribumi yang diakibatkan oleh lada.
Sajian yang sungguh lengkap: ada udaran historis, data-data yang tepat, dan analisa ekonomi politiknya.
Ada beberapa hal informasi menarik yang bisa dibagi dalam ulasan kali ini. Pertama, bahwa lada ternyata memiliki peranan yang lebih dari sekadar barang konsumsi, namun dapat mempengaruhi beberapa aspek secara sosial maupun politik. Dalam halaman 12, ada kutipan seperti ini:
“Lada adalah alat tukar yang ideal. Ia berharga bagaikan terbuat dari emas. Biaya melintas, sewa, pajak, bahkan denda pengadilan, dapat dibayar dengan lada. Lada bisa membeli tanah dan pulau, melunasi barang gadaian, serta membeli kewarganegaraan dan persenjataan lengkap, wanita cantik, kuda tergagah, perhiasan terindah, karpet berharga, bulu hewan langka: semua bisa dimiliki dengan lada.”
Kedua, lada tidaklah muncul bertepatan dengan datangnya bangsa kolonial Eropa, namun jauh sebelum itu lada sudah menjadi barang dagangan dan dicari oleh bangsa-bangsa lain di luar Eropa. Misalnya, dikisahkan dalam buku ini bahwa sebelum bangsa kolonial Eropa datang ke nusantara, China merupakan konsumen utama lada, pada abad XV dan XVI. Tak tanggung-tanggung, ekspor lada ke China dapat mencapai sebanyak 50.000 zak, sedangkan hasil lada nusantara kurang lebih 60.000 zak setiap tahun. Pedagang-pedagang China itu membeli lada dari pedagang-pedagang Jawa.
Ketiga, buku ini juga menyajikan fakta sejarah yang nampak renik atau sepele namun menjadi informasi yang berharga untuk diketahui. Terkait hal ini informasi yang dimaksud adalah perbedaan antara lada putih dan lada hitam. Dikatakan di dalam buku ini bahwa, sebagian besar jenis lada yang dibeli oleh pedagang China adalah lada putih—berbeda dengan yang dikonsumsi oleh masyarakat Eropa yang merupakan lada hitam. Lada putih sendiri disebut lebih mahal dari lada hitam. Dan secara perawatan dan serta pemanenannya juga menarik diikuti.
Keempat, buku ini juga tidak lupa menayangkan konflik yang alot antara penguasa pribumi dan kolonial Eropa dalam usaha memonopoli lada. VOC sebagai perwakilan bangsa kolonial Belanda digambarkan memiliki ambisi menguasai lada dan tak henti-hentinya menyusun strategi agar bagaimana lada jatuh ke dalam genggaman kekuasaannya.
Selain empat yang disebutkan di atas, masih ada beberapa hal menarik lain lagi untuk kita ikuti. Buku tipis ini tepat dibaca oleh berbagai kalangan, khususnya pembaca sejarah pemula. Gaya narasi Swantoro mudah diikuti, bernuansa feature yang lembut, dan tentu saja memiliki sense sejarah yang kuat. Ini dimungkinkan karena Swantoro sendiri memiliki latar akademik ilmu sejarah, seorang wartawan, dan pernah memimpin redaksi Harian Kompas—harian yang salah satu lini penerbitannya menerbitkan buku “Perdagangan Lada Abad XVII…” ini.
Tambahkan Komentar