Readtimes.id– ” Saya pikir dunia kampus kita hari ini tidak lagi berpegang pada misinya sebagai tempat untuk memproduksi ilmu pengetahuan dengan riset, melainkan sebuah tempat balai diklat tenaga kerja ” tegas Rhiza S.Sadja pengamat dunia pendidikan Indonesia pada readtimes.id
Hal ini tak lain merespon pertanyaan yang diajukan padanya terkait bagaimana tradisi riset untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pengabdian masyarakat yang sekarang ada di perguruan tinggi di Indonesia yang menurut Scimago– lembaga pemeringkatan asal Spanyol yang memberikan penilaian kepada universitas dan institusi riset dunia, mengalami penurunan . Dari posisi 23 pada tahun 2018, kini menjadi 47 dalam laporan terakhir pada tahun 2019 untuk jumlah publikasi ilmiah .
Menurut Rhiza yang juga seorang akademisi di Universitas Hasanuddin ini menilai bahwa hal tersebut wajar karena kampus di Indonesia hari ini lebih berorientasi pada “mencetak” lulusan yang nantinya dipersiapkan sebagai tenaga kerja atau buruh sebuah perusahaan untuk negara lain ketimbang mengembangkan ilmu pengetahuan yang nantinya akan berguna untuk kemajuan negara.
” Posisi Indonesia ini di dunia memang ditargetkan sebagai negara yang memproduksi tenaga kerja sebanyak-banyaknya serta murah untuk negara lain. ” terangnya
Pihaknya bahkan khawatir tentang janji bonus demografi tahun 2030 di Indonesia yang menurutnya akan sangat berpotensi digunakan oleh negara lain untuk meraup keuntungan dalam hal memperoleh tenaga kerja.
” Jepang misalnya melalui banyak program kerjasama dengan negara kita dalam berbagai bidang. Hal ini disebabkan karena mereka tahu ke depan kita akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030, dimana pada waktu yang bersamaan mereka akan mengalami krisis demografi ” tambahnya
Kekhawatiran Rhiza ini bahkan sudah dapat dirasakan sekarang ketika angka jumlah tenaga kerja di Indonesia terus mengalami peningkatan tiap tahunnya, dimana menurut dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencapai 9 juta orang yang tersebar di berbagai negara. Jumlah ini jauh lebih rendah dibanding jumlah TKA ( Tenaga Kerja Asing) yang masuk dari berbagai negara yang hanya mencapai angka 74.000 orang saja. Belum lagi julukan pahlawan devisa. Membuat negara turut serta dalam mendukung aksi pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sebanyak-banyaknya.
Lebih jauh akademisi Unhas yang pernah masuk dalam nomine rektor ITB tahun 2005 -2010 ini, juga mengkritisi terkait anggaran riset Indonesia yang masih sangat minim dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan tinggi
” kalau kita mempertanyakan anggaran riset tentu sudah pasti jawabannya masih jauh dari kata cukup. Bahkan menurut saya salah jika kita mempertanyakan anggaran riset pengembangan ilmu pengetahuan itu ke negara, karena negara tidak akan mendukung itu. Tapi lain halnya kalau untuk anggaran riset untuk mencetak tenaga kerja, negara pasti jauh lebih mendukung ” ujarnya
Seperti yang diketahui menurut data dari Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bambang Brodjonegoro dalam Rakornas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) pada Tahun 2020 saja, dana riset pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia baru menyentuh angka 0,25 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) . Dimana angka ini sangat rendah apabila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dimana, Vietnam 0,44 persen, Thailand 0,78 persen, dan Malaysia 1,3 persen.
Tambahkan Komentar