Gelombang ke-13 pendaftaran, Program Kartu Prakerja telah dibuka sejak 4 maret 2021 kemarin. Pada gelombang ke-13 kali ini, pemerintah menargetkan akan membuka quota bagi 600.000 peserta. Total anggaran yang disiapkan oleh pemerintah untuk program kartu prakerja pada tahun 2021 mencapai 20 triliun.
Tentu banyak kalangan akan bersepakat, bahwa program kartu prakerja yang di jalankan oleh pemerintah merupakan program yang memiliki manfaat perlindungan sosial. Terutama bagi warga negara yang belum terserap lapangan kerja, korban PHK, maupun mereka yang ingin re-skilling (pemberian kemampuan atau keterampilan baru untuk pekerja).
Lewat program kartu prakerja oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada bulan februari yang lalu di forum Rapat Kerja Manajemen Pelaksanaan Program Kartu Pra Kerja (3-5/2/2021) menyampaikan bahwa “penerima manfaat kartu prakerja telah mencapai 5,5 juta orang dari pendaftar awal yang mencapai 43 juta orang di 514 kabupaten dan kota di 34 provinsi se-Indonesia”.
Sedangkan untuk tahun ini, pemerintah menargetkan pada paruh pertama Program Kartu Prakerja akan menjangkau 2,7 juta penerima. Semangat pemerintah untuk menjadikan kartu prakerja sebagai program untuk mengantisipasi penggangguran maupun mencegah ledakan Angkatan kerja yang tidak terserap harus diapresiasi.
Apalagi, pada masa resesi akibat pandemi Covid-19 pemerintah mengubah aturan dengan memperioritaskan, penerima manfaat kartu prakerja adalah mereka yang menjadi korban PHK. Nilai manfaat kepada penerima Kartu Prakerja juga masih sama dengan tahun sebelumnya sebesar Rp 3.550.000- perorang terbagi untuk Bantuan Pelatihan Rp 1juta, Insentif Pasca Pelatihan Rp 2,4 juta dan Insentif Pasca Survei Rp 150 ribu,”
Terlepas dari niat baik pemerintah lewat program kartu sakti prakerja, pertanyaan publik yang masih banyak mengemuka setidaknya terkait dengan satu hal yakni setelah menjalani proses pelatihan, training yang diberikan lewat program prakerja lantas mesti bekerja dimana ? Jikapun, akan membuka lapangan kerja sendiri dalam situasi resesi apakah bisa berjalan?
Pertanyaan publik ini, terkesan wajar pasalnya jika melihat begitu banyak perusahaan justru melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi karyawan mereka. Data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) pada awal oktober tahun 2020 sudah terdapat lebih dari 6,4 juta pekerja menjadi korban PHK. Bahkan sejumlah data memperediksikan sepanjang tahun 2020 angka pengangguran sudah mencapai 9,77 juta orang.
Jikapun akan berusaha secara mandiri, trend pertumbuhan ekonomi nasional dari data BPS pada tahun 2020 masih berlangsung minus 2,07%. Begitu pula pada kemampuan daya beli masyarakat utamanya trend pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih berlangsung negatif. Kondisi ini menjelaskan, berarti sekalipun para lulusan program prakerja memiliki kompetensi skill untuk menjalankan aktivitas produksi barang dan jasa, lantas adakah yang akan membeli ditengah resesi?
Memang, pekerjaan pemerintah untuk memulihkan ekonomi nasional nampaknya memang tidak mudah.
1 Komentar