RT - readtimes.id

Ketika Rakyat dan Dunia Melawan Myanmar

Militer Myanmar mengambil alih kekuasaan negara pada pagi hari Senin, 1 Februari 2021. Sontak, peristiwa ini viral di seluruh dunia.

Saya sendiri tidak terlalu kaget. Myanmar adalah negara yang mengalami defisit demokrasi parah.  Reformasi politik berlangsung sejak 2008 dan alami momentum pada 2015. Namun rezim militer tidak pernah pergi dan menyingkir sama sekali. Bahkan, konstitusi diam-diam memberi legitimasi kehadiran militer dalam politik Myanmar.

Dua institusi yang intensif mengukur tingkat demokrasi dan kebebasan negara-negara di dunia, yaitu Freedom House dan The Economist Intelligence Unit (EIU).  Keduanya menempatkan Myanmar pada posisi demokrasi yang buruk: “Not Free” (Freedom House) dan “Authoritarian Regime” (The EIU). Status ini tidak berubah, padahal upaya transisi menuju demokrasi telah dimulai sejak 2008.

Jadi, ulah militer yang mengambil alih kekuasaan politik hanya persoalan waktu.  Akan tetapi, kali ini rakyat Myanmar tidak diam.Sejak hari pertama paska kudeta, rakyat Myanmar bereaksi.  Tanggal 2 Februari, kota Yangon tiba-tiba riuh rendah oleh aksi masyarakat yang membunyikan segala yang bisa berbunyi: mulai klakson mobil hingga memukul panci dan wajan.

Pada 4 Februari, sekelompok kecil warga (menurut Reuters berjumlah sekitar 20 orang), turun ke jalan melakukan aksi protes.  Selang dua hari kemudian, sebanyak 300 anggota parlemen Myanmar mengeluarkan pernyataan bersama: menolak dan mengecam kudeta.  Aksi massa kemudian berangsur membesar.

Hingga pada 15 Februari, dua pekan setelah kudeta, ratusan ribu rakyat Myanmar turun ke jalan. Aksi serentak berlangsung di seluruh Myanmar, melibatkan berbagai latar belakang. Mulai aktivis, hingga seniman. Mereka melakukan perlawanan bahkan menggunakan lagu, puisi, dan lukisan.

Tentu saja, gerakan rakyat semata tidaklah cukup untuk memaksa turunnya penguasa. Apalagi, kekuasaan militer yang bukan saja ambisius namun juga agresif.  Pada titik tertentu, militer biasanya tidak ragu menggunakan kekerasan, meletupkan senjata, meskipun akan memakan korban rakyat sendiri.  Gelagat itu mulai terlihat. Di beberapa titik, korban rakyat sipil mulai berjatuhan.

Akan tetapi, gerakan rakyat Myanmar lebih dari cukup untuk memberi sinyal darurat ke dunia internasional, bahwa mereka membutuhkan bantuan.  Hal yang kemudian memperoleh respon seperti diharapkan.

Berbagai negara dan lembaga internasional mulai bersikap.  Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada tidak lagi menggunakan bahasa diplomatis mengutuk atau mengecam. Mereka bertindak nyata memberi sanksi kepada para Jenderal Myanmar pelaku kudeta.

Norwegia dan Selandia Baru membekukan bantuan untuk Myanmar. Tahun lalu kedua negara menyalurkan sekitar 150 milyar.  Selandia Baru bahkan mengumumkan blokir terhadap petinggi militer Myanmar masuk ke nagaranya.

Akankah militer Myanmar menyerah?

Aksi kudeta di Myanmar nampaknya didominasi oleh ambisi pribadi figur-figur pimpinan militer.  Mereka telah terpinggirkan selama 5 tahun, namun masih memiliki kuasa untuk kembali. Sayangnya, reformasi politik di Myanmar cenderung menyiapkan bom waktu: meminggirkan militer dari politik, namun tidak melucutinya.

Padahal, dalam gerakan reformasi politik di berbagai negara, reformasi sektor keamanan (area dimana militer dominan) seharusnya menjadi prioritas.

Ketika reformasi begulir, masyarakat sipil ramai-ramai masuk ke ruangan dan mengambil alih ruang-ruang kekuasaan politik.  Namun, mereka tidak mengeluarkan militer dari ruang itu.

Pada titik inilah seharusnya rakyat Myanmar belajar: militer adalah alat negara yang penting, namun juga berbahaya.(*/)

Ishaq Rahman. Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin. Twitter/IG: @thepappito

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: