Readtimes.id– “Jika masih tidak ada kepuasan pada UU Cipta Kerja ini silakan ajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi”.
Potongan ucapan Presiden Joko Widodo dalam siaran langsung Youtube Sekretariat Presiden, pada 9 Oktober 2020. Kala itu terjadi demo besar di sejumlah wilayah di Tanah Air yang menuntut agar pemerintah dan DPR membatalkan pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Sebuah respon yang belakangan kerap dilontarkan pemerintah ketika ada sebagian publik yang tidak bersepakat akan hadirnya sebuah produk undang-undang.
Mulai dari UU KPK, UU Pemilu yang membahas tentang ambang batas pencalonan presiden, dan yang terakhir adalah UU Ibu Kota Negara (UU IKN), semuanya dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Bak pilihan terakhir, Mahkamah Konstitusi kini menjadi tempat pelarian publik untuk menyampaikan aspirasinya dalam sebuah kebijakan ketika pemerintah dan DPR enggan merubah keputusan.
Menanggapi ini, pakar politik Universitas Hasanuddin, Sukri, memandang bahwa respon pemerintah tersebut bisa dinilai sebagai sebuah bentuk pemberian ruang bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya melalui jalur-jalur hukum yang memungkinkan.
“Dari satu sisi, dengan cara ini pemerintah ingin menunjukkan image bahwa keputusan mereka bukanlah keputusan yang sewenang-wenang dan bukannya tidak bisa digugat melalui jalur-jalur hukum tertentu,” terangnya saat dihubungi readtimes.id.
Adapun sisi lain yang ingin diperlihatkan bahwa tidak semua produk UU dalam proses pembuatannya itu tanpa celah, aturan tersebut dibuat dalam ruang politik yang di dalamnya begitu banyak kepentingan yang menanti untuk diakomodasi.
“Sehingga sangat memungkinkan jika dalam sebuah UU ada pihak-pihak yang merasa tidak diakomodir kepentingannya. Karena sekali lagi tidak ada UU yang benar-benar sempurna dan membuat semua pihak puas,” tambahnya.
Maka dengan memperlihatkan sisi ketidaksempurnaan itu, pemerintah memberikan ruang bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya melalui jalur-jalur konstitusional yakni melalui MK.
Sementara itu dekan FISIP Universitas Gadjah Mada, Wawan Mas’udi, memandang bahwa secara normatif MK memang dibentuk sebagai sebuah saluran konstitusional untuk warga negara mempersoalkan sebuah kebijakan pemerintah yang dalam hal ini berbentuk UU.
Kendati demikian, banyaknya jumlah UU yang digugat publik dan akhirnya diuji di MK, itu mengindikasikan ada sebuah proses partisipasi publik yang tidak berjalan.
“Apalagi jika kemudian sebuah gugatan UU itu dimenangkan oleh sang penggugat dalam hal ini publik, itu artinya proses pembuatan kebijakannya cenderung oligarkis,” terangnya saat dihubungi readtimes.id.
Mengakomodir kepentingan pihak tertentu dan mengabaikan kepentingan publik jelas adalah sesuatu yang keliru, jika kemudian undang-undang tersebut memberikan dampak luas.
Pun lebih dari itu, Wawan memandang bahwa hal ini juga menunjukkan bahwa mekanisme check and balance tidak berjalan baik antara pemerintah dan DPR.
“Kan mestinya jika UU yang diajukan pemerintah itu bersoal, ya, DPR yang mengingatkan. Begitupun sebaliknya,” tambahnya.
Mengenai teknis menyerap aspirasi publik menurutnya seharusnya tidak lagi menjadi sebuah soal. Mengingat kecanggihan teknologi informasi yang ada saat ini harusnya memudahkan pemerintah, DPR , dan publik untuk saling bertukar pandang tentang sebuah kebijakan.
Melibatkan partisipasi publik dalam sebuah kebijakan menurutnya adalah sesuatu yang tidak bisa dianggap selesai hanya dengan menyarankan pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi ketika publik tidak bersepakat, karena ini akan berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah maupun DPR sebagai wakil rakyat dalam perumusan kebijakan.
“Jika tidak dapat diatasi dampak buruknya adalah kepercayaan publik akan menurun pada pemerintah dan DPR,” tambahnya.
Dan jika ini sudah sampai pada puncaknya, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya sebuah pembangkangan sipil.
Editor : Ramdha Mawadda
Tambahkan Komentar