Setiap 8 maret, dunia merayakan Hari Perempuan Internasional. Perayaan International Women’s Day, sudah melalui episode sejarah panjang dan diyakini telah melampaui 1 abad lebih, bermula sejak tahun-tahun awal era 1900-an.
Berdasarkan banyak catatan sejarah, momentum perayaan Hari Perempuan Internasional terjadi pada sekitar tahun 1908, kala itu belasan ribu perempuan memadati jalan-jalan Kota New York Amerika, berdemonstrasi menuntut hak mereka atas jam kerja, gaji dan hak politik perempuan untuk ikut pemilu.
Kini setelah lebih dari seratus tahun, International Womens Day (IWD) merilis tema perayaan hari perempuan pada tahun 2021 dengan tema: berani mengambil pilihan dan tantangan. Pesan di balik tema perayaan Hari Perempuan Internasional tahun ini, berdasarkan keterangan IWD adalah seruan untuk kaum perempuan untuk menentang bias ketidaksetaraan gender serta upaya melahirkan dunia yang inklusif.
Perempuan dulu dan Kini
Pertanyaan yang banyak diajukan oleh kaum laki-laki, mengapa sejak 1 abad yang lalu sampai hari ini, perayaan Hari Perempuan Internasional yang dilakukan senantiasa masih mengusung satu isue pokok, yakni kesetaraan atau upaya menghadirkan dunia yang inklusif (setara) antara dunia laki-laki dan dunia perempuan ?
Apakah bias gender antara peran kaum perempuan dan kaum laki-laki masih terjadi? Apakah tuntutan satu abad yang lalu, di mana kaum perempuan mengajukan protes atas jam kerja, gaji yang setara, hak untuk ikut pemilu kini tuntutan itu belum terpenuhi ?
Mungkin secara kasuistik banyak kaum laki-laki bisa berdalih, segala tuntutan akan kesetaraan itu telah terpenuhi. Mulai dari hak-hak kesetaraan jam kerja, sampai hak untuk mendapatkan cuti haid dan hamil dalam konteks Indonesia telah terlindungi lewat Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Begitu pula soal gaji, posisi dalam jabatan politik, perusahaan, maupun jabatan publik bahkan dalam bidang pendidikan. Kini begitu banyak rektor universitas negeri yang berasal dari kaum perempuan yang seolah-olah membenarkan pandangan hampir tidak ada lagi perbedaan yang nampak antara kaum perempuan dan laki-laki.
Namun jika berkaca secara kuantitatif, berbagai dalih pandangan tersebut sebenarnya merupakan argumen yang lemah. Karena untuk konteks Indonesia data Badan Pusat Statistik (BPS/2019) menyampaikan rata-rata gaji laki-laki Rp 3,05 juta per bulan sedangkan perempuan hanya Rp 2,33 juta per bulan atau terjadi selisih sebesar 23% lebih, dimana gaji perempuan 23% lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Begitu pula pada level posisi dibidang pekerjaan, data BPS hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dalam bidang kesetaraan gender posisi top manager perusahaan masih di dominasi kaum laki-laki dimana 75, 83 % posisi puncak jabatan dipegang oleh laki-laki dan baru 24,17 % kaum perempuan.
Pada jabatan politik, Hasil Pemilihan Umum 2019 menunjukkan Perempuan yang terpilih sebagai anggota parlemen untuk tingkat nasional memang mengalami kenaikan, kini sekitar 20,5 persen (DPRRI) anggota DPRRI adalah perempuan.
Sementara di DPRD Provinsi rata-rata sekitar 18 persen dan DPRD Kabupaten/Kota sekitar 15-16 persen. Padahal selisih jumlah jumlah penduduk kita antara laki-laki dan perempuan hanya berkisar 1-2 juta orang.
Fakta-fakta tersebut telah mengkonfirmasikan bahwa sampai saat ini, baik dulu dan sekarang posisi perempuan dan tuntutan perempuan akan kesetaraan gender memang masih penting untuk didengungkan. Karena kenyataan yang terjadi bias gender antara laki-laki dan perempuan masih berlangsung secara nyata dimana posisi kesetaraan baik penghasilan, posisi jabatan publik masih membutuhkan kesetaraan antara laki-laki perempuan.
Perempuan harus berani mengambil pilihan dan tantangan untuk mewujudkan kesetaraan bagi lahirnya dunia yang inklusif untuk semua. Karena mustahil bicara keadilan bila kesetaraan belum terwujud.
Tambahkan Komentar