Judul : Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
Penulis : Dian Purnomo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : November 2023
Tebal : 320 halaman
Sejatinya, aturan adat disepakati demi kemaslahatan kehidupan bersama anggotanya. Namun, seturut perkembangan zaman, adat mendapatkan tantangan antara menyesuaikan diri atau tetap secara ‘kaku’ melestarikan aturanya. Belum pula, aturan yang lupa dievaluasi sangat rentan untuk dimanipulasi untuk kepentingan kelompok tertentu. Di sinilah garis tegang antara aturan dan kepentingan.
Magi Diela, tokoh perempuan dalam novel “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam”, mencerminkan betapa sesuatu yang disebut ‘aturan’ adat semestinya dievaluasi dan dimaknai ulang. Sebab jika tidak, korban-korban dari ‘aturan’ tersebut kerap kali distigmatisasi sebagai melanggar adat.
Meski demikian, Magi Diela juga membuktikan bahwa perlawanan keras atas ‘aturan’ adat yang sebetulnya telah dimanipulasi kelompok tertentu akan menciptakan solidaritas dan kenyataan baru. Tak ada yang sia-sia, itulah yang akan kita temukan pada kisah Magi Diela, meski harus dibayar dengan darah dan air mata.
“Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam” adalah novel yang akan dengan mudah menarik pembaca kepada pembauran aneka perasaan: marah sekaligus haru, geram sekaligus simpatik, menangis sekaligus bahagia. Bagaimana tidak, melalui 57 bab ditambah epilog yang intens menghanyutkan kita dalam narasi lembut penulisnya, novel ini membawa kita pada kisah perlawanan Magi Diela melawan kekerasan dan pelecehan seksual, melawan patriarki, dan merajut solidaritas.
Novel yang ditulis pasca penulisnya mengikuti program residensi Komite Buku Nasional dan Kementerian Pendidikan dengan tinggal enam minggu di Sumba ini berkisah tentang Magi Diela. Magi adalah perempuan Sumba yang memiliki mimpi luhur membangun daerahnya sendiri. Dia bercita-cita menjadi PNS Pertanian. Dia bekerja sebagai penyuluh pertanian.
Masalah muncul ketika dia menjadi korban ‘kawin tangkap’. Dia dipaksa menikah dengan seorang lelaki mata keranjang bernama Leba Ali yang dulunya adalah teman bapaknya Magi Diela. Berikutnya cerita bergulir dalam pahit getir Magi melawan semua itu. Dan tentu ini tidak mudah, karena Magi berhadapan dengan sikap tidak mendukung orang tuanya sendiri, sebagian besar masyarakat yang diam.
Dalam perjuangannya yang tidak mudah itulah Magi tidak pernah lagi merasakan terangnya bulan. Bulan yang selama ini selalu berwarna terang kini hitam dan gelap, segelap kisah hidupnya.
Dikisahkan dari sudut pandang orang ketiga, “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam” ini menawarkan narasi yang lembut, realisme yang sederhana, dengan campuran narasi tertib bahasa Indonesia dan ungkapan-ungkapan dan langgam khas Sumba NTT. Setiap bab nampak terasa singkat dan cepat—tak ada yang sampai sepuluh lembar.
Secara alur dibuat seperti flashback. Dibuka dengan bab berjudul “Perlawanan” saat Magi berusaha melakukan usaha bunuh diri namun selamat. Lalu cerita mengalir ke belakang yang menjelaskan bagaimana semuanya bisa terjadi, bagaimana kerasnya usaha Magi melawan, dan dendam kesumatnya pada orang yang merusak mimpinya.
Narator buku ini sangat lihai mengaduk-aduk perasaan pembaca dengan rasa penasaran pada tiap akhir bab. Pembaca akan terus-menerus dibawa pada pertanyaan: bagaimana nasib Magi di bagian berikutnya? Atau seperti apa kisah Magi ini akan berakhir? Akankan dendamnya akan selesai?
Penulis novel ini mengaku bahwa dia menulis kisah Magi atas perlawanan dia sendiri pada nilai-nilai adat yang mengekang perempuan, atau pada kisah para perempuan yang menjadi korban ‘kawin tangkap’. “Novel ini adalah perlawanan saya dengan meminjam energi yang dimiliki Magi Diela Talo. Semoga cerita Yappa Mawine, Padeta Ngine, atau apapun istilahnya yang saya dengar tahun lalu, tidak akan pernah terjadi lagi.”
“Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam” dapat menjadi pintu masuk bagi siapa saja yang ingin memulai obrolan tentang isu perempuan kaitannya dengan aturan adat, atau yang lebih luas isu feminisme dan kekerasan serta pelecehan seksual. Sangat direkomendasikan!
Editor: Ramdha Mawadha
Tambahkan Komentar