Judul : Solilokui
Penulis : Budi Darma
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : Juni 2020
Tebal : 170 halaman
“Karya sastra yang baik belum tentu dibaca, terutama kalau masyarakat sastranya bodoh. Konsep mereka mengenai sastra sangat tumpul, dan dengan demikian mereka hanya menyerap karya-karya sastra yang sebenarnya buruk.” Budi Darma.
Sastra Indonesia adalah wilayah liar, agak gelap, dan penuh riuh. Sebab itu perbincangan atasnya senantiasa tak pernah selesai, selalu mampu menimbulkan perdebatan dan pertengkaran (intelektual). Segala sisi dunia sastra seakan-akan dilingkupi hewan buas, mengusiknya sedikit saja akan direspons dengan auman beraroma kemarahan.
“Solilokui” yang ditulis oleh begawan sastra kita, Budi Darma, memotret keliaran, gelap-gulita, dan keriuhan dunia sastra Indonesia, khususnya yang terentang pada kisaran alaf 1969—1971. Berbagai macam tema yang saling terkait dihamparkan oleh Budi Darma dengan polesan pandangan kritisnya.
Sejatinya, buku non-fiksi berisi sehimpun esai sastrawan kita yang mangkat pada Agustus 2021 lalu itu terbit pertama kali pada 1983, dan diterbitkan kembali pada 2020—setelah 37 tahun dari penerbitan perdananya. Ini tentunya akan menerbitkan rasa penasaran: masih adakah masalah kesusastraan dalam kurun waktu yang disebutkan relevan dengan dunia abad ini?
Membaca satu atau dua esai pertama, pembaca akan segera mengetahui: meski fenomena sastra yang disorot jauh di masa lalu, namun sebagian besarnya terasa masih relevan dengan masalah kesusastraan kita hari ini. Misalnya saja tentang dorongan dan motivasi seorang penulis dalam menulis. Rasa-rasanya hingga saat ini diskusi tentang menulis masih selalu dikaitkan dengan rendahnya apresiasi masyarakat secara umum, plagiasi, tujuan menulis, dan sebagainya. Malah kita akan mendapatkan detail-detail masalah yang dihadapi penulis di masa yang diceritakan oleh Budi Darma.
Apalagi di dunia kesusastraan, rasa-rasanya pula hingga saat ini perbincangannya masih berputar pada masalah salah-kaprahnya sebagian (besar) masyarakat pada karya sastra yang sering dikaitkan dengan karya yang ‘fiktif’, dunia imajiner yang kosong, fantasi yang sepele. “Tentu saja orang-orang awam yang mula-mula menganggap sastra adalah biasa, sekarang mendapat kesan bahwa yang dinamakan sastra tak lain dan tak bukan adalah semacam kerja kesurupan.”
Di luar sindirannya yang nakal tapi jenaka perihal dunia sastra Indonesia yang kacau, “Solilokui” akan memberikan kita kisah para sastrawan Indonesia yang memberi sumbangsih besar pada perkembangan sastra kita saat ini. Ada Chairil Anwar sang Angkatan Patriotik 1945, ada Sitor Situmorang wakil sastrawan angkatan 50 dan 60an, ada Toto Sudarto Bachtiar, juga ada Rendra. Menariknya, Budi Darma mengulik hidup dan karya para maestro ini dengan memberi perbandingan dengan penulis-penulis di belahan dunia Eropa: Sartre, Albert Camus, Garcia Lorca, dan lain-lain.
Secara narasi, “Solilokui” menggunakan cara khas Budi Darma saat mengeksekusi karya-karya fiksinya: unik, nyeleneh, jenaka, namun tanpa kehilangan aspek kedalaman informasi dan refleksi. Dan pandangannya terhadap satu masalah kadang keras, kadang pula lembut. Coba salami narasi salah satu esainya ini,
“Jangan beri maaf kepada novel-novel buruk, karena memang kebanyakan novel Indonesia buruk. Ada novel pemenang hadiah yang tidak lain dan tidak bukan novel-novelan, ada novel pemenang hadiah yang membuat geram pembaca karena pengarangnya terlalu banyak geram memprotes, ada novel pemenang hadiah yang tidak menyebabkan pembaca lebih pandai meskipun sekian halaman dipergunakan oleh pengarangnya untuk berdebat dan memberi nasihat.”
Esai-esai di dalam “Solilokui” memang banyak menyindir. Dia menyindir sastrawan itu sendiri, menyindir para kritikus dan pembaca sastra. Jadi buku “Solilokui” ini akan tepat dibaca oleh tiga kalangan tersebut: sastrawan, kritikus sastra, dan pembaca sastra.
Tambahkan Komentar