Judul : Anak Rusa Mencari Tuhan
Penulis : Sabine Wassenberg & Kamel Essabane
Penerbit : mizan
Tahun : cetakan 1, Mei 2024
Tebal : 156
Filsafat dan agama—dua wacana yang kerap kali dipertentangkan. Jika membaca sejarah peradaban kita, tak terhitung kasus di mana dua hal ini berada dalam garis tegang, memicu perdebatan, bahkan ada yang berakhir pada vonis sesat. Namun, ada pula yang mencoba menyandingkan dua hal ini sebagai alat bantu pada masing-masing teritori, sebagai upaya memahami dan meneguhkan keimanan dan sekaligus rasionalitas.
“Anak Rusa Mencari Tuhan” adalah novel bergenre filsafat yang mencoba menjembatani titik ekstrim agama dan Filsafat. Karya sederhana yang sejatinya dikhususkan untuk anak-anak ini justru mendapatkan sambutan besar di berbagai belahan dunia, seakan hendak mengulang booming novel “Dunia Sophie”, fiksi filsafat yang digandrungi banyak orang di seluruh dunia.
Novel relatif tipis ini (156 halaman) ditulis oleh dua penulis Belanda, Sabine Wassenberg dan Kamel Essabane, yang punya perhatian, karir, dan karya dalam bidang filsafat. Sabine telah menulis beberapa buku filsafat untuk anak-anak, mengajar filsafat, dan sekaligus seorang filsuf. Sedangkan Kamel Essabane kurang lebih sama dengan rekannya: mengajar filsafat Islam dan bekerja sebagai guru di Pabo.
Satu lagi informasi penting tentang novel ini: didasarkan pada cerita terkenal dalam bidang filsafat dan agama, “Hayy bin Yaqzhan”, karangan ilmuwan, filsuf, dan sastrawan muslim bernama Ibnu Thufail. Ibnu Thufail hidup pada abad 12, masa di mana dunia Islam menguasai Spanyol dan secara intelektual tengah bergairah dengan aktivitas keilmuan atau dunia sains. “Hayy bin Yaqzhan” ini memang ditulis oleh Thufail untuk mendamaikan dua pemikiran yang bertengkar kala ini: filsafat dan agama, atau akal dan wahyu.
Dengan sedikit perbedaan tujuan penulisan, “Anak Rusa Mencari Tuhan” ditujukan untuk memperkenalkan filsafat timur kepada anak-anak yang barangkali yang tinggal di Eropa. Dengan demikian, kita bisa mengatakan novel “Anak Mencari Tuhan” adalah versi modern atas novel “Hayy bin Yaqzhan”.
Versi modern “Hayy bin Yaqzhan” ini nampaknya tidak terlalu banyak mengubah bagian-bagian kisah aslinya. Nama tokoh dan alur ceritanya tidak diubah. Sudut pandang ada dua, orang pertama dan orang ketiga. Namun untuk sudut pandang terakhir hanya berada pada lima bagian terakhir. Sementara 13 bagian dari awal novel menggunakan sudut pandang orang pertama, yakni si ‘aku’ bernama Hayy.
Dalam versi “Anak Rusa Mencari Tuhan”, cerita berawal saat seorang sultan yang memerintah sebuah wilayah padat di Samudra Hindia diberikan catatan ramalan bahwa akan lahir bayi laki-laki yang akan merebut tahtanya. Nah, karena tak ingin kehilangan tahtanya, si sultan memerintahkan pasukannya untuk membunuh semua bayi yang terlahir laki-laki. Potongan kisah ini barangkali akan mengingatkan kita pada cerita Fir’aun.
Sialnya, adik perempuan sang sultan justru yang melahirkan bayi laki-laki. Karena tak ingin bayi laki-lakinya tersebut dibunuh oleh pasukan kakaknya, sang ibu lantas melarungkan bayinya ke laut dalam keranjang yang muat untuk tubuh sang bayi. Dan…bayi tersebut terdampar pada sebuah pulau tak berpenghuni oleh manusia, melainkan oleh hewan-hewan dan tetumbuhan.
Bayi ini dirawat dan disusui oleh seekor rusa betina. Sebab itulah, seiring kehidupannya di pulau tersebut dia menganggap rusa tersebut adalah ibunya sendiri. Dalam masa tertentu dia kemudian menamainya dirinya sendiri: Hayy.
Nantinya, perlahan-lahan Hayy mulai heran dan berpikir keras tentang perbedaan fisiknya yang mencolok dengan ibunya. Nah, di bagian inilah aktivitas berfilsafat si Hayy dimunculkan kepada pembaca. Dia berpikir tentang asal-usul kehidupan benda bernyawa. Hayy memperhatikan bagaimana makhluk hidup ‘mengada’. Dia memperhatikan tumbuhan yang tumbuh karena biji-bijian, hewan beranak dari induknya, bertelur dan menetas, dan sebagainya.
Tapi mengapa dirinya berbeda? Mengapa tak ada satupun di pulau tak berpenghuni itu yang sama seperti dirinya. Hayy kemudian menyimpulkan, pasti ada sumber dari sumber, ibu dari ibu, di mana dia tidak dilahirkan dari siapa-siapa. Dan dia termasuk kategori itu, yang kemudian membuat semua makhluk di pulau itu bisa ‘ada’.
Kita akan dibawa berpetualang pada puspa ragam pertanyaan filosofis pada semua bab. Melalui kisah dan sosok Hayy, kita akan diajak berpikir tentang alam, tentang ‘diri’, tentang kekuatan misteri yang mengatur benda-benda di langit dan di bumi, dan lebih jauh tentang etika pada lingkungan, tentang ‘mengambil’ dan ‘mengembalikan’, dan sebagainya.
Apalagi penyusunan novel ini sedikit mirip buku-buku Pelajaran sekolah di mana pada bagian akhir bab kita disajikan pertanyaan-pertanyaan untuk kita jawab sendiri. Misalnya, dalam bab berjudul “Di dalam Gua”, bagian akhir ada daftar pertanyaan: Bisakah Anda bersentuhan dengan Sang Misteri yang disebut-sebut oleh Hayy? Apakah segala sesuatu itu pada hakikatnya satu? Bisakah Anda menyingkirkan rasa takut?
Mejelang akhir cerita, pada akhirnya si Hayy bertemu juga dengan seorang manusia lain bernama Asal, laki-laki yang hendak mengasingkan diri dari lingkungannya. Dia datang ke pulau tersebut secara sengaja dan terencana, namun dia jadi kerasan dan mulai memperkenalkan si Hayy pada bahasa. Melalui bahasa-lah si Hayy pada akhirnya bisa mengisahkan sejarah hidupnya di pulau tak berpenghuni tersebut.
Novel filsafat tipis ini sangat indah. Bagi mereka yang tertarik pada dunia teologi, atau ingin memperdalam keimanan beragamanya namun tidak secara doktrinal tapi melalui penjelasan-penjelasan rasionalitas, akan senang dengan novel ini. Rasa-rasanya, novel ini bisa disebut membawa semangat novel “Dunia Sophie”, namun dengan batasan pada wahyu dan akal.
Novel ini sangat cocok menenami kita pada masa menjelang Hari Raya Idul Adha saat ini. Selamat membaca!
Tambahkan Komentar