RT - readtimes.id

“Kitab Cerita”, Menelusuri Risalah Pustaka Anak dari Masa ke Masa

Judul : Kitab Cerita, Esai-esai Anak dan Pustaka 2
Penulis : Setyaningsih
Penerbit : babon
Cetakan : Maret 2021
Halaman : 118 hlm

Buku tipis dan mungil ini berisi 12 esai ringkas (plus 1 catatan penutup dari penulis lain) tentang dunia pustaka yang berkaitan dengan semesta anak Indonesia. Ke-12 tulisan dalam buku ini merupakan kumpulan berbagai tulisan penulisnya, Setyaningsih, yang pernah terbit mulai 2018 sampai 2020 di berbagai majalah terkemuka di Indonesia: Majalah Basis, Jurnal Ruang, dan lain-lain. Setyaningsih sendiri adalah pekerja buku dan menekuni bacaan anak yang sudah menghasilkan beberapa cerita anak. Jadi profilnya ini sudah jadi jaminan bagi pembaca jika esai-esai dalam buku ini bakal bernas dan kredibel.

Ulikan tema tulisan-tulisan dalam buku ini beragam, mulai dari persoalan sastra anak (Indonesia), karya terjemahan sastra anak yang viral di masa tahun 80an, kisah penulis Indonesia yang membuat buku anak, dan sebagainya. Dari ragam tema tersebut, persoalan anak (Indonesia) adalah benang merah yang mengikat semua tulisan. Dan benang merah ini akan menghantarkan kita pada bentangan masalah dunia pustaka anak sepanjang sejarah Indonesia.

Jika ditelusuri secara dalam, tidaklah banyak buku yang membahas tentang bacaan anak. Dan di antara yang tidak banyak itu mungkin sedikit yang menawarkan analisa yang mendekati komprehensif. Namun, “Kitab Cerita” ini mencoba mendekati dunia Pustaka anak sepanjang sejarah Indonesia melalui pisau analisa sosial dan politik.

Beberapa tulisan di awal buku seringkali mengetengahkan persoalan kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam bentuk Inpres, di mana buku-buku disubsidi dengan keterangan “MILIK NEGARA. TIDAK DIPERDAGANGKAN” di atas sampul cetakan buku.

Dan dalam analisanya, Setyaningsih memberikan kita gambaran dilematis di mana rezim melalui kebijakan Inpres ini, selain membuat buku tersebar luas dan mudah diakses, sekaligus menjejalkan ideologinya terkait pembangunan sosial-ekonomi-politik. Kita bisa menemukan contoh ini dalam satu esainya, “Bentang Cerita Mansur Samin”. Di dalam esai ini, Setyaningsih mengudar karya-karya Mansur Samin—penulis yang produktif menulis buku anak masa Orde Baru—yang cenderung menggambarkan perihal kehidupan pedesaan lengkap dengan gagasan ideal yang diharapkan oleh Orde Baru. Dan anak-anak dalam cerita Mansur Samin digambarkan seringkali menjadi korban adat dan patriarkisme masyarakat desa.

Ada beberapa detail yang menarik disimak dalam esai-esai di buku ini. Misalnya, Setyaningsih menggelitik nalar kritis kita terkait dunia anak. Orang tua Indonesia, katanya, cenderung terlalu mengarahkan dan mengharapkan anak-anak bersikap sopan, santun, cerdas, dan pintar. Tapi yang tak kalah penting, kata Setyaningsih, adalah menyediakan ruang humor bagi anak-anak.

Ini bisa kita temukan dalam satu esainya, “Bocah, Tertawalah!” Coba kita kutip kata-katanya dalam esai ini: “Memang, kebanyakan orangtua masih lebih memimpikan anak-anak mereka menjadi anak pintar, rajin, saleh, sopan, dan berprestasi. Namun, halaman tawa di majalah telah mengisi cawan impian yang cenderung dibuang oleh orangtua: menjadikan anak Indonesia humoris dan lucu.”

Ya, Setyaningsih Ketika menyebut “halaman tawa di majalah” dia tengah mengisahkan kepada kita bahwa ada masanya majalah-majalah di Indonesia menyediakan rubrik atau kolom atau halaman berupa cerita humor atau tebak-tebakan dari pembaca yang menyasar anak. Ini tentu informasi yang penting untuk dicatat.

Tentu masih ada esai-esai lainnya yang tak kalah menarik untuk disimak. Tapi yang menjadi catatan penting di sini adalah: esai-esai di dalam buku ini memberikan kita gambaran historis bagaimana perjalanan pustaka anak di Indonesia (buku atau terbitan anak dalam rentang sejarah), profil penulis dan penerjemah yang memberikan sumbangsih pada bacaan anak, karakter bacaan anak pada masa tertentu seperti pada masa Orde Baru, dan sebagainya. Jadi buku ini, selain memberikan informasi yang kaya, juga menawarkan benang merah yang patut disimak dan direfleksikan.

Nah, bagaimana dengan dunia pustaka anak dewasa ini? Masih perlukah anak diberikan buku fisik dengan cerita yang bisa dibaca dalam suasana tenang tanpa hiruk pikuk Tiktok dan sebagainya?

Editor: Ramdha Mawaddha

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: