readtimes.id– Lebih dari sekedar instrumen komunikasi antar personal, jika dimanfaatkan secara tepat faktanya media sosial juga bisa menjadi alarm bagi para penegak hukum untuk menjalankan tugas dan fungsinya.
Hal ini bisa dilihat pada beberapa bulan terakhir dimana pengguna media sosial berhasil mendorong diproses dan dibukanya kembali beberapa kasus pelecehan seksual yang sebelumnya terjadi di Tanah Air.
Pertama adalah kasus perundungan dan pelecehan yang menimpa seorang pria berinisial MS, staf Komisi Penyiaran Indonesia ( KPI) pusat yang dilakukan oleh rekan kerjanya.
Kasus yang terungkap berawal dari sepucuk surat yang tersebar di sosial media dimana menceritakan terkait kronologi pelecehan seksual yang dialami oleh laki-laki berinisial MS berhasil mendapatkan respon kepolisian setelah warganet turut menjadikannya viral di beberapa platform media sosial.
Seperti yang diketahui dalam kronologi yang belakangan diketahui ditulis oleh kuasa hukum korban, MS mengaku telah melaporkan kasus yang dialaminya itu ke pihak kepolisian namun tidak pernah dipandang sebagai sebuah kasus yang serius.
Begitu pula dengan kasus dugaan pemerkosaan yang terjadi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan dimana korbannya adalah tiga orang anak di bawah umur yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri sebagaimana yang berhasil diungkap oleh sebuah reportase Project Multatuli.
Melalui tagar #PercumaLaporPolisi publik pengguna sosial media berhasil membuat kasus tersebut menjadi viral dan berhasil dibuka kembali setelah sebelumnya ditutup pada 2019 lalu karena disebut kurang bukti oleh aparat kepolisian.
Mengutip pernyataan seorang peneliti media dari Oregon State University (OSU), Nels Oscar, hal ini sejatinya tidak terlepas dari kekuatan media sosial yang mampu melampaui komunikasi interpersonal, tatap muka, yang biasa dilakukan manusia.
Baca Juga : Kekerasan Seksual dalam Bingkai Media Kita
“Sebagai bagian dari masyarakat kita sepertinya mempelajari keahlian baru dalam komunikasi tertulis, dan kita tidak sepenuhnya memahami atau merefleksikan kekuatannya untuk mempengaruhi begitu banyak orang dengan cara yang tidak kita inginkan,” kata Nels Oscar, yang juga mahasiswa pasca-sarjana di College of Engineering OSU seperti yang dikutip dari Antara.
Menurutnya media sosial itu instan, dalam beberapa kasus bisa menjangkau jutaan orang dalam sekali waktu, dan bahkan bisa memprovokasi perilaku. Pengguna media sosial bahkan seringkali tidak tahu siapa saja yang mungkin membacanya dan bagaimana itu mempengaruhi mereka.
Dan akan sangat besar dampaknya bila isu yang disebar adalah sesuatu yang memiliki nilai human interest yang tinggi, dimana membuat banyak orang tergerak untuk membagikannya secara khusus melalui sejumlah fitur-fitur khusus yang telah disediakan.
Seperti yang kemudian terjadi pada pemberitaan terkait pelecehan seksual yang belakangan terjadi di Tanah Air, yang seolah berubah menjadi sebuah tuntutan publik bagi aparat penegak hukum untuk kembali menelusuri kasus yang ada.
Evaluasi Kinerja
Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian dalam konferensi pers secara virtual mengatakan ramainya tagar Percuma Lapor Polisi seharusnya bisa menjadi masukkan untuk aparat kepolisian.
KontraS menyebut kritikan publik melalui #PercumaLaporPolisi harus menjadi bahan evaluasi secara mendalam dan serius.
“Institusi Kepolisian tak boleh resisten terhadap kritik atau bahkan justru menuding balik orang yang mengkritik sebagai sebuah penyerangan,” ujar Rozy
Menurutnya dengan menerima ke depan kepolisian bisa memperbaiki pelayanan dan pengayoman yang selama ini masih menjadi masalah bagi publik.
2 Komentar