Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme
Peresensi: Dedy Ahmad Hermansyah
Penerjemah: Julia Absari
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun Terbit: 2019
Tebal: xxxiii + 416 hlm
Dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, kita disajikan penjelasan bahwa salah satu motif bangsa kolonial datang ke nusantara adalah berburu rempah-rempah.
Namun, kita tak pernah tahu lebih jauh gejolak apa yang sesungguhnya terjadi di Eropa yang mendorong lahirnya perburuan ini—mengingat waktu tempuh dari Eropa ke dunia timur (dan negara-negara lain penghasil rempah di Asia) bisa sampai dua tahun lebih (+ 24.000 mil), dan risiko yang dihadapi juga besar seperti penyakit atau terbunuh oleh pribumi.
“Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme” menjawab pertanyaan tersebut. Ditulis oleh Jack Turner, penulis Australia, narasi buku ini luwes, detail, dan jenaka. Temuan Jack Turner sangat menakjubkan. Secara singkat—namun ini akan terlalu menyederhanakan kesimpulan sesungguhnya yang justru lebih kaya—alasan di balik pencarian rempah terletak pada bagaimana komoditi ini dikonsumsi, kemudian mempengaruhi gaya hidup (dalam hal ini kuliner), yang kemudian sebagai akibatnya menjangkiti masalah-masalah sosial, politik, agama, moral, sastra, hingga seks.
Sumber-sumber yang digunakan Jack Turner sungguh kaya: dia meliputi isi kitab suci berbagai agama—mulai dari paganisme hingga agama monoteisme, puisi, buku-buku masak, catatan perjalanan para penjelajah, periplus (dokumen berisi panduan pelayaran di Samudera Hindia), drama, lakon sandiwara, lagu, dan syair. Narasinya berkelindan dengan kisah-kisah mistis, fakta, sejarah, eksplorasi, pengobatan, sejarah kuliner, sastra, dan masih banyak lagi—cukup panjang untuk diurutkan.
Rempah itu seksi—rempah di dunia islam dan kristen
Rupa-rupanya, baik di zaman kuno maupun pada Abad Pertengahan rempah-rempah dan erotisme tak dapat dipisahkan. Rempah-rempah itu seksi merupakan pernyataan yang tak satupun orang ragukan pada saat itu. Orang ramai-ramai menghujat dan sebagian lagi memujanya adalah bukti kuat untuk itu. Apa yang membuat rempah saat ini dibenci dan dipuji? Ya, karena fakta bahwa yang menulis atau menganjurkan juga yang mengonsumsi rempah sebagai perangsang vitalitas seksualitas berasal dari kalangan gereja atau orang suci, mulai dari Paus hingga biarawan. Skandal-skandal seks yang melibatkan keluarga kaisar atau raja juga selalu terkait dengan rempah.
Argumen yang menarik di menyangkut ini adalah bahwa ternyata di dunia Islam orang-orang lebih terbuka saat berbicara seks dibanding di dunia Kristen. Karya-karya para ilmuwan-filsuf Islam menyangkut seksualitas justru lebih gamblang, namun bedanya dibandingkan karya-karya penulis dunia Kristen yang semata pada kenikmatan: pengarang dunia Islam lebih mengutamakan penggunaan rempah secara fungsional dan berorientasi pada kesuburan. Barangkali, menurut penulis, ini adalah konsekuensi dari banyaknya risiko poligami dan kekhawatiran akan bencana demografis yang jadi perhatian para pemikir Arab sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Selain berkaitan dengan perangsang gairah seks, rupanya sejarah rempah juga berjalin erat dengan kepercayaan agama-agama kuno bahwa dewa-dewa mencintai aroma wangi, sebagaimana terlihat dalam ritual-ritual mereka. Rempah-rempah dibakar dengan dupa, diusap ke sekujur patung-patung dewa, dan disimpan di sekeliling rumah atau kuil. Festival-festival atau pertandingan-pertandingan besar selalu mengikutsertakan rempah di dalamnya. Orang-orang memyinyaki diri mereka dengan kayumanis, narwastu dan kuma-kuma ketika hendak bertanding. Ini berlaku baik di negeri timur, Arab, Yunani, atau bahkan Romawi. Rempah-rempah dianggap memiliki unsur surgawi.
Namun kemudian praktik tersebut perlahan-lahan pudar saat agama monoteisme lahir—Yahudi, Kristen, dan Islam. Dewa atau Tuhan terdahulu yang digambarkan mencintai wewangian dan diberikan sesajian, misalnya Tuhan masa Kejadian yang cenderung digambarkan berwujud fisik yang datang dan pergi ke taman, kini telah berevolusi. Tuhan kini tersembunyi dalam alam metafisik.
Nasionalisme, era matinya sihir rempah
Lalu apa yang menyebabkan popularitas rempah perlahan menurun sehingga konsumsinya mulai terbatas di Eropa? Ada beberapa alasan untuk itu, salah satunya muncul konsep sistem negara yang memiliki efek berantai hingga pada aturan ketat menyajikan makanan atau kuliner bagi warganya.
Munculnya bentuk pemerintahan negara ini bertepatan dengan dengan masa keemasan hidangan nasional, yang tidak memberi ruang untuk rempah. Bahkan, penyajian makanan dengan rempah cenderung mendapatkan ejekan dan olok-olokan dari sebagian kalangan.
Masa awal pemerintahan negara di Eropa ini diidentikkan dengan semangat nasionalisme, di mana makanan dapat diproyeksikan sebagai identitas nasional yang membanggakan. Apa yang orang makan menunjukkan proklamasi mereka dari keautentikan, atau dekadensi, nasional.
Namun demikian, bukan berarti konsumsi rempah hilang sama sekali. Saat ini, anehnya, yang mengkonsumsi rempah-rempah adalah kalangan miskin–padahal dulunya rempah diidentikkan sebagai sajian para elit dan bangsawan. Juga masih digunakan dalam dunia pengobatan.
Begitulah, pada akhirnya masa kejayaan rempah pudar di Eropa. Sebagai gantinya, sarana orang-orang Eropa dalam menunjukkan selera konsumtif mereka mulai beralih dari meja makan ke perhiasan, musik, pakaian, rumah, seni, dan kereta kuda.
Dedy Ahmad Hermansyah. Peneliti lepas dan pustakawan di Komunitas Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Tambahkan Komentar