Judul : Leila Khaled Kisah Pejuang Perempuan Palestina
Penulis : Sarah Irving
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : Januari 2016
Tebal : i – x + 198 hlm
Narasi besar tentang konflik Palestina-Israel selalu berkutat pada persoalan agama ataupun kolonialisme. Yang luput didiskusikan dan menjadi perhatian adalah bagaimana perempuan turut ambil peran dalam beragam aksi pemberontakan ataupun demonstrasi, tantangan apa yang mereka hadapi, hingga bagaimana kaum perempuan menyeimbangkan kodratnya sebagai perempuan dan keterlibatan mereka dalam gerakan pemberontakan.
Buku “Leila Khaled, Kisah Pejuang Perempuan Palestina”, yang ditulis Sarah Irving, penulis yang banyak mengulas isu Palestina, menyajikan bukan hanya kisah sepak terjang Leila Khaled, tokoh perempuan pejuang Palestina yang sangat ikonik dan kharismatik, namun juga mendedah cerita ironi kaum perempuan yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Palestina.
Sarah Irving menguraikan dengan detail persoalan yang dihadapi para perempuan pejuang Palestina. Fakta yang menyeruak adalah bahwa perempuan yang terlibat dalam gerakan pembebasan palestina—dengan menjadi militan atau anggota partai progresif-revolusioner—berhadapan dengan lingkungan tradisional yang patriarkis, kaum laki-laki di lingkaran internal yang belum sepenuhnya sadar pada peran krusial perempuan, serta perdebatan antara wacana feminisme dan nasionalisme.
Memang buku ini fokus pada sosok Leila Khaled, pejuang perempuan Palestina, yang terkenal sejak dua aksi pembajakan pesawat yang dia lancarkan pada 1969 dan 1970, untuk menyebarkan kepada dunia apa sesungguhnya yang terjadi di Palestina. Sontak seluruh dunia membicarakan Palestina, beserta segala kontroversinya. Namun demikian, buku ini melebarkan deskripsi dan narasinya pada persoalan atau realitas kompleks yang terjadi di Palestina—yang bakal menggeser kita dari kesalahpahaman bahwa perjuangan kemerdekaan Palestina semata sebagai perang agama.
Leila Khaled, Antara Agenda Kemerdekaan Palestina dan Pembebasan Perempuan
Leila Khaled lahir pada 1944 di sebuah kota pelabuhan Haifa di Palestina. Kota ini digadang-gadang sebagai kota multi-etnik yang harmonis antara masyarakat muslim dan yahudi, dan agama lainnya. Namun empat tahun setelah kelahirannya, yakni pada 1948, konflik dan permusuhan antara pemukim Yahudi dengan penduduk Palestina pecah. Leila Khaled pun harus mengungsi ke Tirus, Lebanon—Leila dan keluarganya adalah rombongan pengungsi Palestina pertama dari Haifa.
Sejak masa itu karakter pejuang dalam diri Leila dibentuk perlahan-lahan. Kakak-kakaknya terlibat dalam gerakan politik nasionalis Arab (disebut ANM, Arab Nationalist Movement, didirikan oleh George Habash dan Wadi’a Haddad). ANM ini berwatak sekuler dan kemudian cenderung ke kiri. Pada umur 10 tahun ia mulai terlibat demonstrasi bersama guru-guru sekolahnya. Pada umur 14 tahun mendapatkan tugas penting yang penuh risiko: membawa makanan kepada para pejuang di garis depan. Saat ini ia menyaksikan sendiri suasana perang. Ia terkesima oleh kecepatan peluru saat melesat.
Sejak itu ia mulai sering terlibat dalam gerakan ANM. Pada masa kuliahnya di American University of Beirut (AUB), ia melibatkan diri ke dalam Serikat Umum Pelajar Palestina yang pada 1963 mendukung pemberontakan rakyat yang bermaksud mendirikan republik Palestina merdeka. Pada masa mahasiswa inilah ia mendesak organisasinya untuk mengizinkannya mengikuti latihan militer.
Singkat kisah, ia semakin menonjol dalam organisasi dan mulai tertarik pada latihan bersenjata. Tekadnya sungguh kuat. Walhasil, ia pun mendapat tugas berat pertamanya: misi membajak pesawat pada 1969, yang kemudian diikuti pada tahun berikutnya, 1970. Pada era ini, taktik membajak pesawat masih tergolong baru. Meskipun kontroversi, taktik ini lazim dipakai oleh organisasi pemberontak untuk tujuan tertentu. Ada etika-etika tertentu yang diatur oleh organisasi, salah satu yang utama masyarakat sipil tak boleh jadi korban.
Berkat aksi pembajakan pesawat ini, Leila menjadi bak selebritis. Sosoknya dielu-elukan yang disandingkan dengan tokoh kharismatik lain seperti Che Guevara—yang kebetulan jadi inspirasi Leila, di samping Fidel Castro. ANM ikut menanggung dampak positifnya. Berkat itu pula agenda organisasi untuk kampanye masalah Palestina ke masyarakat internasional bisa dijalankan.
Namun, di belakang itu semua, Leila harus menghadapi tudingan bahwa ia menggadaikan perjuangan perempuan dengan aksi maskulin ala kaum laki-laki. Leila dianggap jauh dari pesan pembebasan perempuan. Tudingan ini khususnya datang dari sebagian feminis barat. Meski ada pula yang memuja-muja aksinya sebagai bentuk keberanian perempuan, bahwa perempuan dapat pula menunjukkan aksi yang dianggap hanya bisa dilakukan laki-laki.
Di luar itu juga, ibunya sempat tak merestui pandangan politik dan agenda perjuangannya. Ia diminta fokus bekerja untuk membiayai adik-adiknya sekolah.
Pejuang Perempuan Palestina di antara Tuntutan Domestik dan Cita-Cita Nasionalisme ANM pada mulanya berjuang untuk nasionalisme Arab secara umum. Nantinya ada seksi khusus di dalam tubuh organisasi yang secara istimewa mengurusi urusan Palestina. Kemudian dari situ terbentuklah Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (Popular Front for te Liberation Palestin, PFLP).
PFLP sebagai front yang berkarakter marxis memang memberi perhatian khusus pada persoalan kaum perempuan. Anggota perempuan secara kebijakan diberikan hak yang sama dalam memegang tampuk kepemimpinan. Di sana isu perempuan didiskusikan dan diperdebatkan secara serius.
Ketika berhadapan dengan tudingan tadi bahwa Leila menggadaikan agenda feminisme untuk kepentingan organisasi, dia bergarumen bahwa dalam corak masyarakat Palestina yang masih tradisional-patriarkis serta tengah berada dalam kolonalisme Israel, yang genting dilakukan pertama-tama bukan konfrontasi ketimpangan laki-laki dan perempuan, melainkan menuntaskan persoalan nasional. Leila mengatakan, “Pertanyaanku, apakah penindasan yang paling berdampak langsung? Penjajahan. Bagi perempuan dan laki-laki, anak-anak dan orang tua, sama saja. Kami sepakat bahwa yan pertama-tama menindas rakyat Palestina adalah pendudukan Israel”.
Perempuan telah terlibat dalam perjuangan nasional Palestina setidaknya sejak awal abad ke-20.
Perempuan berpartisipasi dalam kampanye dan demonstrasi menentang Deklarasi Balfour pada 1917 dan imigrasi Zionis yang menempati tanah-tanah guntai yang dijual oleh tuan tanah Ottoman. Perempuan juga berperan dalam mengirirmkan senjata kepada rekan laki-laki mereka.
Perempuan Palestina, khususnya yang aktif terlibat dalam organisasi atau partai perjuangan, jelas menghadapi tantangan yang lebih berat dibandingkan kaum laki-laki. Leila bisa menjadi salah satu cermin untuk itu. Leila menjalankan tugas ganda: sebagai seorang ibu dan pejuang kemerdekaan sekaligus—tugas domestic yang tak selalu seiring sejalan dengan tugas nasionalnya.
2 Komentar