Ramadan sebagai madrasah rohaniah begitu istimewa di hati manusia, terkhusus umat Islam. Karena pada bulan Ramadan ada dimensi rohani dan spiritual yang begitu kental dan sangat dibutuhkan umat manusia.
Manusia adalah makhluk jasmaniah dan rohaniah sekaligus. Karena itu, dalam dirinya ada potensi untuk berhubungan dengan dunia material dan dunia spiritual. Manusia mampu menangkap hukum-hukum alam di balik gejala-gejala fisik yang diamatinya, tetapi ia juga mampu menyadap isyarat-isyarat gaib dari alam yang lebih luas lagi.
Bila satu potensi dikembangkan luar biasa sedangkan potensi lain dimatikan, manusia menjadi makhluk yang tidak seimbang. Dalam sebuah perbincangan, Dr. Jalaluddin Rakhmat bercerita tentang peristiwa pada suatu Konferensi di Universitas Michigan, ketika Dr. Benyamin E. Mays dengan lantang mengatakan, “Kita memiliki orang-orang terdidik yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Kita juga memiliki lulusan-lulusan perguruan tinggi yang sudah banyak. Namun, kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang berpenyakit. Bukan pengetahuan yang kita butuhkan, karena itu sudah kita miliki, akan tetapi kemanusiaan sedang membutuhkan sesuatu yang bersifat spiritual.”
Dengan ungkapannya itu para peserta konferensi tersentak, karena tersadar bahwa selama ini perguruan tinggi telah mencetak manusia-manusia yang tidak utuh. Manusia yang bernalar tinggi tetapi berhati kering dan hampa, sarjana yang meraksasa dalam berbagai bidang ilmu dan teknologi tapi merayap dalam etik, intelek-intelek yang pongah dengan pengetahuan tetapi kebingungan menikmati kehidupan.
Hampir semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam akalnya saja dan mengesampingkan panggilan hati nuraninya. Karena itu, manusia seringkali diperbudak oleh kerakusan, iri hati, kebencian, kegersangan emosi dan sebagainya. Oleh sebab itu, manusia perlu kembali pada fitrahnya yang suci.
Lantas, apa yang harus ditempuh untuk menghidupkan kembali fitrah tersebut? Jalan yang paling tepat tiada lain adalah pembinaan diri melalui penyucian diri atau tazkiyatun nafs.
Pengenalan “Diri Manusia”
Sebelum sampai pada penyucian diri, maka terlebih dulu kita mengenali diri manusia. Ada berbagai riwayat yang telah masyhur berkaitan dengan pembahasan kita, di antaranya disebutkan bahwa, “Barangsiapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya” dan “Orang yang paling mengenal dirinya di antara kalian adalah yang paling banyak mengenal Tuhan kalian.” Itulah sebabnya pengenalan “diri manusia” adalah menjadi sangat penting, karena diri inilah yang ingin kita perbaiki, kita sucikan dan mengantarkannya ke maqam kedekatan ilahi.
Para ulama menyebutkan empat kekuatan dalam diri manusia yang akan menentukan bentuk wujud manusia, seperti halnya yang dibahas oleh Sayyid Kamal Haidari dalam bukunya At-Tarbiyyah ar-Ruhiyyah: Buhuts fi Jihad an-Nafs sebagai berikut :
Pertama, Kekuatan Syahwat (al-quwwah asy-syahwiyyah) yang disebut juga kekuatan
bahimiyyah, adalah kekuatan yang tidak muncul darinya selain perbuatan-perbuatan
kebinatangan, berupa penyembahan pada kelamin dan perut, serta keinginan kuat pada hubungan biologis dan makan.
Kedua, Kekuatan Ghadhab (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut juga kekuatan
sabu’iyyah adalah kekuatan yang menjadi sumber kemunculan perbuatan-perbuatan binatang buas, seperti marah dan benci. Berbagai bentuk gangguan yang ditimpakan kepada orang lain biasanya dari jenis kekuatan ini.
Ketiga, Kekuatan Wahmiyyah (al-quwwah al-wahmiyyah) adalah merupakan kekuatan jiwa yang paling penting, karena kekuatan inilah yang membantu di jalan yang benar atau jalan yang keliru sehingga mendapatkan berbagai cara untuk merealisasikan apa yang diinginkan dan dipilihnya.
Bila kekuatan ini menghamba kepada kekuatan ghadhab, maka seseorang akan menjadi tiran di muka bumi, sehingga ia akan bersikap sewenang-wenang, menebarkan kerusakan, mengingkari segala kebaikan dan mengerjakan segala bentuk kejahatan.
Apabila kekuatan wahm ini menghamba pada kekuatan syahwat, maka ia akan menyiapkan segala wahana bagi kekuatan tersebut untuk mengantarkan pada tujuannya. Akan tetapi, jika kekuatan ini tunduk pada kekuatan akal, maka ia akan mencari cara untuk mengantarkannya pada kedekatan ilahi serta jalan-jalan naik ke tingkatan-tingkatan kesempurnaan.
Keempat, Kekuatan Akal (al-quwwah al-‘aqliyyah) atau dinamai juga kekuatan al-malakiyyah, karena ia membawa manusia naik ke alam para malaikat, kesucian dan alam kedekatan ilahi.
Dengan adanya gambaran seperti di atas, maka manusia bisa lebih mampu untuk menempa dan menata kualitas dirinya setahap demi setahap. Manusia harus menjadikan keempat kekuatan tersebut berfungsi secara seimbang, untuk bisa menyempurnakan
dirinya.
Penyucian Diri Sebagai Sebuah Jalan
Syaikh Ibrahim Amini dalam Risalah Tasawuf-nya menyebutkan bahwa tujuan terbesar para Nabi Alaihimussalam adalah mendidik dan menyucikan jiwa manusia. Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran Al-Karim, “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
(QS.Ali Imran [3]:164)
Para Nabi datang untuk mengajarkan jalan penyucian diri kepada manusia, dan membantu serta membimbing mereka di dalam urusan yang amat penting dan menentukan ini. Para Nabi diutus untuk membersihkan jiwa manusia dari akhlak-akhlak yang buruk dan sifat-sifat kebinatangan serta sebaliknya menumbuhkan akhlak yang baik dan sifat-sifat yang utama. Rasulullah SAW telah bersabda, “Kalian harus berpegang teguh kepada akhlak yang mulia. Karena dengan tujuan inilah aku telah diutus Allah SWT.”
Akhirnya, bila saja setiap Muslim menggunakan momentum Ramadan untuk melakukan pembinaan dan penyucian diri masing-masing, maka akan muncul manusia-manusia yang berakhlak mulia, sehingga tercipta masyarakat yang damai, bahagia dan sejahtera dalam naungan ridha ilahi. Dan di bulan Ramadan inilah kesempatan yang sangat baik untuk melatih diri, memperbaiki diri demi mencapai tujuan tersebut.
(Dari Buku: Narasi Sederhana Sang Pembelajar: Jelajah Diri Memahami Fenomena Sosial Keagamaan)
Penulis merupakan peneliti Ma’REFAT INSTITUTE dan pengurus Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Sulawesi Selatan.
37 Komentar