Readtimes.id– Bagai pedang bermata dua. Kemajuan teknologi digital hari ini tidak hanya mempermudah manusia dalam berinteraksi, namun juga menghadirkan masalah baru yaitu berupa persebaran informasi yang tidak benar atau biasa yang disebut dengan “Hoax”
Sebagai sebuah istilah, Hoax, diyakini oleh pakar telah muncul sejak awal era industri di Eropa. Namun Harus diakui persebarannya baru mengalami peningkatan pesat ketika dunia global menjadikan media sosial yang tak lain anak kandung dari perkembangan teknologi internet menjadi konsumsi utama
Sebagai negara dengan pengguna media sosial aktif dengan angka 160 juta bila merujuk pada perkembangan data terbaru dari Hootsuite –situs layanan manajemen konten yang menyajikan data serta tren yang dibutuhkan dalam memahami internet, media sosial juga perilaku e-commerce di setiap tahunnya, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang sangat rentan terpapar hoax.
Dari data terbaru yang dihimpun Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang berkolaborsi dengan cekfakta.com, jumlah kasus hoax yang tersebar di Indonesia buktinya terus merangkak naik selama tiga tahun terakhir.
Pada tahun 2018 tercatat ada 997 kasus, selanjutnya meningkat pada 2019 mencapai 1.221 kasus. Dan pada 1 Januari – November 2020 terjadi peningkatan sebanyak 803 kasus sehingga totalnya terakhir mencapai 2024 kasus
Tidak berhenti di situ, dalam datanya pihak Mafindo memberi catatan bahwa informasi hoaks yang tersebar di Indonesia lebih banyak ditemukan di platform sosial media terutama Facebook.
Mengomentari peran sosial media sebagai medium tertinggi serta tercepat dalam persebaran informasi hoax di Indonesia anggota Komisi Penyiaran Indonesia ( KPI ) Sulsel, Mattewakkan mengungkapkan bahwa hal ini dipengaruhi oleh karakter unik media sosial yang berbeda jauh dengan media mainstream lainnya.
” Iya jadi media sosial ini pada dasarnya memiliki karakter unik yang berbeda dari media mainstream lainnya, sehingga membutuhkan perlakukan yang berbeda pula dalam mengatur penetrasi informasi yang ada di dalamnya” tukasnya.
Dalam pemaparannya Mattewakan menjelaskan bahwa keunikan dari media sosial itu pada dasarnya karena mampu menggambarkan kebiasaan sehari-hari para penggunanya yang tidak terbatas dengan aturan-aturan baku laiknya di media meanstream yang kita kenal.
Ruang yang tidak kaku dan penuh dengan ekspresi diri ini lah yang lantas kemudian mempermudah persebaran informasi yang beragam. Baik yang benar-benar ada atau yang sifatnya diada-adakan.
Ketika disinggung mengenai kebijakan pemerintah yang membentuk badan siber nasional untuk meminimalisir persebaran informasi Hoax, menurut Mattewakkan itu sudah tepat, namun sekali lagi perlu dibuatkan sebuah kesepakatan atau kode etik yang mengatur kinerja dari badan siber ini untuk menghindari terjadinya pelanggaran privasi warga negara yang berujung pada pembungkaman berpendapat.
Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi dimana dengan konsekuensi menghargai setiap suara atau pendapat yang berbeda.
Tambahkan Komentar