Judul : Selama Laut Masih Bergelombang
Penulis : Mariati Atkah
Penyunting : Siska Yuanita
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 13 Juli 2020
Tebal : 80 halaman
Gelombang laut yang dihamparkan Mariati Atkah dalam buku puisinya, “selama laut masih bergelombang”, menawarkan kita perahu narasi untuk melayari kisah dalam latar tradisi—khususnya di seputar laut Sulawesi. Tradisi-tradisi lampau lengkap dengan fitur-fitur sosialnya berjalin kelindan dengan kisah pengembaraan, keteguhan masyarakat melestarikan adat, hingga pilu sedih hubungan percintaan laki-laki dan perempuan.
Lima puluh puisi dalam buku ini dibagi menjadi dua bagian—Gelombang Pertama (30 puisi) dan Gelombang Kedua (20 puisi). Pada Gelombang Pertama, secara sekilas, dilihat dari judul-judulnya, sang penyair memberikan kekentalan yang lebih pada nuansa lokalitas Sulawesi Selatan. Tengok saja “Ballo’ Tala”, “Balagana”, “Buhung Rappoa”, “Benteng Tangnga”, “Arungkeke”, “Ne’i Lele”, “Torawani”, dan sebagainya. Ini sudah cukup mampu mengundang rasa penasaran pembaca untuk melayari gelombang puisi-puisi tersebut.
Sementara pada Gelombang Kedua, dengan hanya 20 puisi, memang tetap memberikan warna lokalitas, namun lebih longgar dalam ulikan tema. Judul dengan warna modern mulai nampak: “Midnight Tequila”, Kjokkenmoddinger”, “Twilight Blues”, dan “Dalam Gelas Pinot Noir”. Meski demikian, semua puisi dalam dua gelombang ini tetap memberikan nuansa emosi dan rasa lewat narasinya yang kadang hemat bait kadang pula panjang dan cerewet.
Melalui dua gelombang laut dari penyair perempuan asal Sulawesi Selatan yang pernah diundang pada Makassar International Writers Festival 2013 ini kita diajak melayari bukan hanya gelombang laut secara harfiah, namun juga gelombang tradisi, gelombang sejarah, gelombang kisah manusia yang tak pernah sepi masalah.
Puisi pertama langsung membawa kita pada narasi pengembaraan dan kenangan yang bersumber pada pembuatan ballo’ tala, tuak yang disadap dari pohon lontar. Betapa lincah dan lembutnya Mariati Atkah mengaitkan perihal luka dan sedih kenangan dengan aspek-aspek yang ada pada bagian pohon lontar.
“Tanyalah berapa jauh jalan ke Butta Turatea, di perempatan mana
Kita boleh melunaskan kembara. Di pelepah lontar angin singgah sebentar
Sebelum rontok pada ilalang yang kering terbakar. Kemarau
serupa api yang sanggup menghanguskan hati.
……
Kutunggu engkau di ujung jalan panjang itu
Lantas kita sesap ballo’ tala bersama-sama.
Memaniskan luka-luka”
Kita tahu ballo’ tala merupakan sajian minuman yang kadang bisa mengundang rasa mabuk. Sebab itu si penyair mengatakan, “di tandan mana engkau ingin mengekalkan kenangan, buah cinta yang terlarang?” Dan sebagaimana karakter daun lontar yang membuka lebar, Mariati menarasikannya seperti ini, “Namun sebagaimana jari-jari daun lontar yang membuka//kuterima dirimu dengan segala adanya.” Betapa manis.
Puisi berjudul “Ballo’ Talla” di atas nampaknya memiliki kemiripan dengan puisi Selama Laut Masih Bergelombang”. Pada puisi ini Mariati membawa kita pada tradisi membuat moke pada masyarakat Flores. Moke dan ballo’ talla ini memiliki kemiripan, minuman yang sama-sama berasal dari pohon lontar.
Pada puisi “Selama Laut Masih Bergelombang” ini Mariati masih menggunakan pola yang sama sebagaimana pada puisi “Ballo’ Tala”, yakni memadukan kisah pengembaraan dan kerinduan akan asmara. Simak saja pembukanya,
“seorang lelaki terkuat pun akan tumbang
Saat kesepian menyerang
Lengan terentang lengang
Tanpa ada seorang perpegang”
Cara menutup puisi ini juga hampir mirip dengan cara menutup puisi “Ballo’ Tala”. Coba kita simak penutupnya:
“selama laut masih bergelombang
Dan moke masih terus dituang
Mendampingi kunyahan sirih pinang
Gelas-gelas akan tetap menengadah
Mengharapkan jatuhnya tetes-tetes baru
Melunasi luka-luka”.
Jika pada puisi “Ballo’ Tala” Mariati Atkah menggunakan kalimat “memaniskan luka-luka”, maka pada puisi Selama Laut Masih Bergelombang” dia memakai, “Melunasi luka-luka”.
Puisi-puisi dengan narasi lembut seperti itu yang ditawarkan dan disajikan Mariati Atkah ke hadapan pembaca. Jika menelisik keterangan tempat yang beragam pada masing-masing puisi, nampaknya sang penyair berusaha menangkap dan menyadap sari-sari sejarah atau peristiwa pada tempat-tempat yang pernah dia datangi. Tempat-tempat itu membentang dari Je’neponto di Sulawesi Selatan sampai ke Flores.
Jika melihat titi mangsa puisi yang lebih muda 2012 hingga yang paling baru 2018, perenungan si penyair terhadap sejarah dan peristiwa lokal tetap konsisten dan memiliki nuansa yang relatif sama dalam hal emosi dan rasa. Ini sungguh buku puisi yang nikmat dibaca di kala senggang, sambil menikmati minuman hangat dan penganan di beranda atau di kafe yang sepi.
48 Komentar