Readtimes.id– Prasangka rasial atau primordial di Indonesia menjadi hal yang membekas dalam ingatan masyarakat. Sastra sebagai alat pencatat sejarah memiliki peran penting dalam upaya menghilangkan prasangka rasial ini.
Hal ini yang disampaikan oleh Penulis, Iksaka Banu dalam acara Bridging the Gap: Melampaui Prasangka Primordial di Makassar International Writers Festival (MIWF). Kegiatan ini dilaksanakan di Benteng Rotterdam Makassar, 8 Juni 2023.
Ia menjelaskan sejarah kelam Indonesia di zaman kolonial haruslah ditulis secara menyeluruh. Hal ini agar kenyataan historis menjadi diterima masyarakat.
“Hal-hal yang tidak baik atau bersifat SARA harus tetap ditulis sebagai bagian dari kenyataan historis. Namun harus juga dijelaskan bahwa hal ini tidak baik,” katanya.
Sejalan dengan itu, pembicara lain Fatris FM menjelaskan memang masih banyak sejarah yang tidak ditulis atau diketahui. Hal ini membuat prasangka primordial ini menjadi tertanam karena masih banyak sejarah yang belum diketahui.
“Sejarah masyarakat Banda yang mengalami perbudakan oleh Belanda, kemudian jumlah penduduknya yang menyusut dari 15 ribu hingga 600-an jiwa. Namun sampai saat ini masih buram, apakah sisa penduduknya hanya dibawa ke Batavia atau ada juga menyebar di tempat lain,” katanya.
Fatris menyinggung bagaimana perilaku Belanda yang masih tidak adil hingga saat ini. Salah satunya kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 belum diakui sampai sekarang.
“Banyak kekejaman kolonial di Nusantara yang belum terungkap sepenuhnya,” jelasnya.
Hal ini turut diaminkan oleh Ni Made Purnamasari. Menurut Made prasangka ini memang menjadi hal yang cukup sensitif. Ia mencontohkan masyarakat Bali yang memiliki prasangka buruk kepada agama tertentu akibat peristiwa Bom Bali.
“Padahal bila dilihat dari sejarah Bali zaman dulu, akulturasi budaya dan agama di Bali itu terjadi dengan baik,” ujarnya.
Made menyimpulkan prasangka rasial ini terbentuk akibat putusnya komunikasi antarmanusia atau masyarakat dengan budaya-budaya yang berkembang di zaman dulu. Putusnya komunikasi ini haruslah dirajut agar prasangka rasial tidak terjadi.
“Sastra punya peran untuk membuat Bali melihat kenyataan-kenyataan sejarah yang bisa menghilangkan asumsi bahwa Indonesia itu terkotak-kotak akibat identitas tertentu,” jelasnya.
Selain itu, menurut Zaky Yamani masyarakat memang tidak bisa dipaksa untuk melihat karya sastra yang berbeda dengan kemauannya. Sastra dibaca berdasarkan kesuksesan atau kemauan setiap orang. Namun sejarah penting ditulis secara gamblang.
“Saya menulis secara subyektif terkait Sunda dan Jawa agar prasangka buruk tidak terjadi namun yang kejadian malah sebaliknya,” katanya.
Editor: Ramdha Mawaddha
747 Komentar