RT - readtimes.id

Memahami Sisi Terang dan Gelap Sumpah Pemuda

Judul         : Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia

Penulis    : Keith Foulcher

Penerbit    : Komunitas Bambu

Tahun Terbit    : 2008

Tebal        : 109 hlm 

Sumpah Pemuda merupakan sebuah simbol penting bagi bangsa Indonesia. Ia menjadi satu momen dalam sejarah di mana nilai-nilai persatuan sebagai satu bangsa diperbincangkan dan dirumuskan. Di sana ada perdebatan panjang serta penuh konflik berkaitan dengan bentuk persatuan yang ideal, yang saling tumpang tindih dengan kepentingan kekuasaan di masing-masing rezim.

Mempelajari serta memahami baik sisi terang dan gelap sejarah Sumpah Pemuda ini mutlak dibutuhkan untuk membangun sikap kritis. Untuk itu, segala gelagat dari pihak manapun yang mencoba menutup ruang bagi kajian kritis kepada sejarah dan memaksakan satu versi mestilah dikritik dan dilawan.

Dengan semangat itulah Keith Foulcher menuliskan esai historiografinya “Sumpah Pemuda: the Making and Meaning of a Symbol of Indonesian nationhood”. Hasil penelitiannya selama kurang lebih dua tahun itu kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia”. 

Ia mengajak kita bersikap lebih kritis terhadap makna Sumpah Pemuda yang, menurutnya, selalu ditunggangi oleh kekuasaan sesuai dengan ideologi yang diusung. Ahli bahasa dan Sastra Indonesia ini berhasil menyajikan data-data penting dan detail berkaitan dengan proses rekonstruksi serta reproduksi makna Sumpah Pemuda di masing-masing rezim sepanjang sejarah berdirinya negara Indonesia.

Esai yang aslinya diterbitkan dalam jurnal Asian Studies Review, volume 24, nomor 3, September 2000 ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana pertama kali penggagasan penciptaan simbol persatuan oleh para pemuda, tarik-menarik pengaruh masing-masing pelaku terkait konsep ideal sebuah persatuan, peran negara dalam memanfaatkan momen itu kemudian menyematkan makna baru sesuai kepentingannya.

Eksplorasi yang padat data tujuannya bukan untuk menggugat peristiwa Sumpah Pemuda itu sendiri, namun agar kita sebagai bangsa lebih bisa memahami Indonesia dengan lebih dalam.

Dalam review ini, saya akan fokus pada bagaimana Sumpah Pemuda ini dipolitisasi dalam empat masa—dari era kolonial hingga masa reformasi. Karena sebetulnya buku ini juga membahas cukup panjang dan informatif perihal perubahan teks Sumpah Pemuda dari awal deklarasinya pada 1928 sampai 1949 (ada tiga bentuk sumpah selama masa ini).

Politisasi Sumpah Pemuda

Politisasi Sumpah Pemuda terjadi pada era Kolonial, Orde Lama, Orde Baru dan masa Reformasi. Di empat masa ini, Sumpah Pemuda dijadikan senjata ideologi untuk memerangi ‘musuh’ yang beragam. Di era kolonial, Sumpah Pemuda dengan tiga resolusi Moh. Yamin di Kongres Pemuda II dimaksudkan untuk merancang satu kesadaran bersama sebagai satu akar sosial. Di era Soekarno, Sumpah Pemuda dijadikan senjata ideologis sejak 1956. Di tahun ini, Indonesia dirongrong oleh banyak pemberontakan di daerah. Untuk memberi peringatan kepada para separatis ini, Soekarno menggunakan Sumpah Pemuda sebagai senjata simbolik melawan mereka. Gerakan-gerakan ini, oleh Soekarno, disebut sebagai “penyimpangan dari Sumpah 1928”.

Peringatan Sumpah Pemuda dalam skala besar untuk pertama kali diselenggarakan pada era Soekarno, tahun 1957. Dengan bersandar pada tema sebelumnya, Soekarno melancarkan serangan kepada para simpatisan daerah: “siapa yang menghidupkan kedaerahan dan federalism, maka ia tidak setia kepada proklamasi kemerdekaan Indonesia. Seribu kali ia mengatakan bahwa ia setia kepada proklamasi kemerdekaan, tetapi apabila sebaliknya menghidupkan kedaerahan dan kesukuan, maka berartilah bahwa ia tidak setia kepada proklamasi kemerdekaan Indonesia”.

Demikianlah amanat Presiden Soekarno pada malam peringatan hari Sumpah Pemuda yang diadakan semalam di Istana Negara dengan mendapat perhatian yang luar biasa besarnya. (Merdeka, 1957)” Pada era Soekarno ini, ada banyak sekali pelibatan semangat Sumpah Pemuda dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan. Tahun 1961, Sumpah Pemuda dilibatkan dalam perjuangan merebut Irian Barat. Tahun 1963, Sumpah Pemuda adalah pengingat bahwa perjuangan melawan imperialism harus diarahkan untuk menghancurkan Malaysia (hal. 59).

Sumpah Pemuda juga digunakan untuk menangkal simbol-simbol budaya Barat yang populer tahun 1959 yang dianggap bakal merusak budaya Indonesia. Pada intinya, di era Soekarno ini, Sumpah Pemuda merupakan senjata ampuh untuk menyerang habis segala pengaruh yang dianggap merecoki semangat persatuan untuk melawan imperialisme. Tiga poin resolusi dalam Sumpah Pemuda (bertanah air, berbangsa, berbahasa satu: Indonesia) kemudian diberi makna persatuan yang baru: persatuan revolusioner. Persatuan yang meniscayakan keterlibatan aktif rakyat dalam menyusun masa depan bangsa.

Lain di era Soekarno, lain pula di era orde baru dengan Soeharto sebagai Presiden. Di era Soeharto, Sumpah Pemuda diarahkan untuk menopang kerangka ideologi orde baru: disiplin, stabilitas dan keamanan (hal. 64). Pada era Soeharto, Sumpah Pemuda mendapat perhatian serius dari pemerintah. Berbagai proyek kajian terkait sejarah Sumpah Pemuda didanai dan didukung penuh. Fenomena ini pertama kali muncul awal tahun 1970-an. 

Tahun-tahun selanjutnya diterbitkan khusus laporan-laporan mengenai Sumpah Pemuda. Publikasi paling penting rekonstruksi Kongres Pemuda II dengan semangat orde baru adalah karya-karya dengan deskripsi-fiksi peristiwa tahun 1928. Salah-satunya adalah karya B. Soelarto, Dari Kongres Pemuda Pertama ke Sumpah Pemuda (1986), yang berisi kumpulan peristiwa sejarah antara kongres pertama (1926) dan kongres kedua (1928) (hal. 70).

Di era Reformasi, semangat Sumpah Pemuda diarahkan kepada menghargai pluralitas sosial yang terkoyak oleh penyeragaman dan pemusatan atau sentralisasi ala Soeharto. Kemajemukan, itu inti dari semangat Sumpah Pemuda era Reformasi. Selain itu, sebagaimana disampaikan dalam pidatonya tanggal 28 Oktober 1998, Habibie menyerukan agar diberikan penghargaan kepada pemuda Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas dalam minat terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang efisien. 

Orde reformasi adalah orde yang menerima puing-puing kehancuran bangsa karena Korupsi-Kolusi-Nepotisme yang diidap orde baru. Sebab itulah, ekonomi yang efisien yang dimaksud adalah memberantas atau memulihkan dan mengakhiri KKN tersebut (hal. 76).

Politisasi Sumpah Pemuda di masing-masing orde di atas memberikan gambaran betapa semangat Sumpah Pemuda begitu fleksibel, betapa tiga poin resolusi yang notabene memiliki makna sama secara teks dapat disematkan semangat yang berbeda. Pada Kongres Pemuda II, penggunaan kata eksklusif ‘kami’ (poetera dan poeteri Indonesia) dimaksudkan sebagai garis demarkasi, garis yang menarik batas tegas dari garis kaum kolonial. ‘Kami’ di era ini adalah ‘kami yang bukan orang Belanda’ (hal. 75).

Sementara di era Soekarno, ‘kami’ berubah makna menjadi ‘kami yang mengabaikan kepentingan daerah demi kepentingan bangsa’. Di era Soeharto, ‘kami’ menjelma arti ‘kami yang mengamalkan Pancasila dan mendukung Pembangunan’. Dan di era Reformasi, ‘kami’ bermakna ‘kami yang menghargai kemajemukan dengan tidak menghancurkan persatuan bangsa’.

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: