RT - readtimes.id

Rumah yang Samar dan Perjalanan Panjang untuk Pulang

Judul        : Jalan Panjang untuk Pulang

Penulis    : Agustinus Wibowo

Penerbit    : Gramedia

Tahun Terbit    : cetakan keempat—September, 2021   

Tebal        : 460 hlm  

Dalam bahasa Indonesia, rumah cenderung dimaknai secara fisik. Berbeda dengan bahasa Inggris yang memiliki kata ‘house’ dan ‘home’ yang kita artikan sama-sama sebagai rumah, namun bedanya: ‘house’ bermakna rumah dalam artian fisik, sedangkan  ‘home’ berarti rumah dalam pengertian ruang. Nah, dalam buku terbarunya berjudul “Jalan Panjang untuk Pulang”, Agustinus Wibowo menawarkan isu rumah dalam pengertian fisik dan ruang kepada kita.

Tema tentang rumah beserta hal-hal berkaitan dengannya—pulang, pergi, tinggal, kenyamanan dan kebosanan juga identitas—memang jadi inti atau pokok tulisan-tulisan Agustinus di dalam sebagian besar tulisannya. Namun, dalam bukunya teranyar ini, tema tentang rumah menawarkan kedalaman baru, karena, salah satunya, Agustinus Wibowo menghamparkan kisah rumah dalam artian ruang bernama Indonesia—bukan melulu rumah Asia maupun Eropa.

Tulisan-tulisan di dalam buku ini dibagi ke dalam 4 bab. Bab 1 berjudul Lokasi, Lokasi, Lokasi, diisi dengan 9 tulisan. Bab 2 berjudul Melintas Batas, di dalamnya ada 5 tulisan. Sedangkan bab 3 berjudul “Rumah di Sini dan di Sana, ada 16 tulisan—bab dengan jumlah tulisan paling banyak. Dan bab terakhir yakni bab 4 ada 4 tulisan. Jadi total ada 34 tulisan.

Berbeda dengan tulisan di dalam 3 seri bukunya yang terkenal—Selimut Debu, Titik Nol, dan Garis Batas— yang cenderung panjang dan nuansa perjalanan a la Agustinus Wibowo terasa kuat, di dalam buku ini tulisan yang terhampar nampak beragam, ada yang pendek dan ada yang panjang, dan secara tema juga ada yang baru. 

Di antara 34 tulisan, ada esai-esai yang berisi refleksi sangat pribadi seorang Agustinus terhadap berbagai isu, khususnya menyangkut soal wacana identitas beserta persoalannya. Jika di dalam tulisannya di buku-buku sebelumnya Agustinus merespons dan memberi nilai pada realitas di berbagai negara lewat narasi dan deskripsi a la jurnalistik, di buku ini ada ruang khusus Agustinus untuk menanggapi secara langsung persoalan wacana yang disebutkan tadi—apa identitas baginya, apa itu rumah, apa itu pulang, dan sebagainya.

Orang-orang yang gamang pada rumah sendiri

Bagi pembaca dan pecinta kisah perjalanan Agustinus Wibowo, tentu akrab dengan gaya narasi tulisan-tulisannya: observasi yang detail, masalah manusia yang kompleks, atau refleksinya sendiri pada identitas pribadinya sebagai diaspora China yang tinggal di Indonesia. dalam buku terbarunya ini, gaya serupa itu masih dipertahankan dan tetap segar, setidaknya bagi saya sebagai pecinta tulisan-tulisannya.

Satu isu yang menarik saya dalam buku ini adalah kisah berbagai manusia—khususnya yang memiliki identitas keindonesiaan dan merupakan minoritas—yang gamang pada identitasnya sendiri. Tulisan pertama yang saya baca adalah “Bendera Merah Putih di Garis Batas”. Ini kisah tentang Wilem Bab, lelaki Papua, yang tinggal di daerah perbatasan, dan gamang dengan identitas sendiri—apakah dirinya orang Papua Nugini atau orang Indonesia. kegamangan serupa akan kita temukan pada kisah diaspora Maluku atau Jawa Suriname di Belanda dalam tulisannya “Rumah Gamelan di Negeri Belanda”, “Kisah Maluku di Negeri Belanda”, “Ikan Makan Ikan”, “Diaspora Bicara Makna Menjadi Jawa”, Imigran Jawa Terakhir di Suriname”, “Dukun Jawa di Belanda”, dan “Kampung Halaman Seberang Lautan”.

Dalam tulisan-tulisan tentang kegamangan mencari identitas ini, Agustinus membawa kita pada refleksi kritis kisah manusia yang karena sejarah masa lalu yang terentang sejak masa kolonial Belanda terus mencari identitasnya. Para eksodus tentara Republik Maluku Selatan yang tinggal di Belanda kini mengalami kegamangan akan pertanyaan perihal identitas. Orang Jawa Suriname juga dipandang aneh oleh bangsa Jawa sendiri dan gamang karena mereka sendiri tak bisa lagi berbahasa serta beradat Jawa.

Orang-orang yang gamang tersebut di atas terus mencari arah jalan pulang yang masih samar dan sangat panjang. Mereka merindukan “kampung halaman” yang sesungguhnya juga asing bagi mereka—khususnya para generasi mudanya yang telah terpaut jauh dengan sejarah asal usulnya sendiri.

Membaca buku ini akan membuat kita risau dan barangkali tidak nyaman tentang keindonesiaan kita sendiri. Namun sekaligus mengajak kita menjadi bijak untuk menerima banyak sekali perbedaan, pusparagam manusia yang ada di tempat kita sendiri. Catatan perjalanan a la Agustinus Wibowo bukanlah sejenis ajakan mencintai Indonesia dengan dangkal, tidak membawa kita pada panorama indah, namun pada masalah manusia.

Tujuannya: agar kita bisa membangun rumah dengan pondasi fisik yang kokoh serta kenyamanan hati di dalamnya. Itulah rumah yang digelar oleh Agustinus untuk kita refleksikan dari bukunya ini. bacalah!   

Dedy Ahmad Hermansyah

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: