RT - readtimes.id

Membincang Kembali Pembunuhan Massal 1965 Secara Arif dan Bijak

Judul : Dalih Pembunuhan Massal
Penulis : John Rossa
Penerbit : Kendi
Tahun : 2021
Tebal : xxv + 423 halaman

Menyangkut peristiwa berdarah 30 September 1965, buku “Dalih Pembunuhan Massal” adalah referensi historiografi yang maha penting untuk dibaca. Baru dalam perspektif, mendalam dalam menganalisa, berani dan nyentrik dalam menyimpulkan—tapi sekaligus berhati-hati dalam upaya menuju satu kesimpulan.

John Rossa, sejarawan yang menulis buku ini, seakan mengajak kita menanggalkan segala bias dan ketakutan kita saat membicarakan tema yang sensitif dan seringkali menimbulkan perdebatan ini. Maka langkah berani pertama adalah ajakan untuk tidak menggunakan PKI setelah “G 30 S”, karena inilah jebakan pertama yang menghalangi kita membincang wacana sejarah ini dengan lebih jernih.

Bagi yang terjebak dalam pencarian dalang siapa sesungguhnya otak di balik peristiwa berdarah 1965—PKI, Soeharto, Soekarno, Angkatan Darat, dll—seakan ditarik keluar dan dibuat tercerahkan oleh analisa mendalam John Rossa: baginya, sesugguhnya tak ada otak utama dalam peristiwa ’65, karena tiadanya pusat pengambilan Keputusan yang tunggal. Kita bisa simak sendiri pernyataannya di dalam buku:

Kelemahan penyelidikan-penyelidikan tentang G-30-S terdahulu terletak pada titik tolak mereka: dugaan bahwa pasti ada dalang di balik gerakan itu. Menurut hemat saya tidak ada ‘otak’ yang utama, apakah ia berupa tokoh, ataukah suatu gugus rapat orang-orang yang terorganisasi mengikuti pembagian kerja serta hierarki kewenangan yang jelas. G-30-S menjadi bersifat misterius justru karena tidak adanya pusat pengambilan keputusan yang tunggal.

Buku ini pertama kali terbit pada 2008, dan menjadi perhatian publik. Sempat dilarang beredar oleh pemerintah. Namun, ibarat sebuah permata, yang dicari oleh pembaca, adalah buku-buku yang dilarang karena isinya yang memang layak untuk hadir di hadapan sidang pembaca.

Jadi, itulah hal-hal yang membuat buku ini, dalam konteks sejarah 1965, menjadi penting diulas kembali. Apalagi di tengah penghujung September ini yang seringkali diramaikan kembali dengan perdebatan-perdebatan yang cenderung tak jelas juntrungannya, tanpa referensi ilmiah, karena kesimpulannya telah dipatok pada masing-masing orang.

John Rossa mengajak kita memeriksa kembali hipotesis-hipotesis lama yang dikemukakan oleh penulis atau sejarawan sebelum dia, baik yang berhipotesis bahwa G30 S merupakan kudeta PKI, G30 S adalah pemberontakan perwira muda, Persekutuan di antara perwira Angkatan Darat dan PKI, dan sebagainya.

Bagi John Rossa, kita tidak bisa menyimpulkan dengan hitam putih untuk menetapkan siapa yang bertanggungjawab. Barangkali memang benar ada unsur horizontal dalam peristiwa tersebut—semacam budaya amuk masyarakat Nusantara di mana dendam dilampiaskan dengan membunuh—akan tetapi, kata John Rossa, jelas ada keterlibatan negara di dalamnya.

Hipotesis PKI sebagai dalang yang melakukan kudeta juga menurut John Rossa memiliki argumentasi yang lemah. Karena jika pun ada keterlibatan dari tubuh PKI, itu pun hanya terbatas pada D.N. Aidit, Syam (Kamaruzaman), dan Biro Khusus. Bagi John Rossa, keterlibatan ketiganya jelas tidak bisa digeneralisir sebagai rencana PKI secara keseluruhan.

John Rossa menganalisis secara mendalam dan adil keterlibatan setiap aktor, sejauh mana keterlibatan mereka dalam peristiwa G30S. Misalnya, seperti apa konflik internal yang terjadi dalam tubuh Angkatan Darat, bagaimana konflik mereka dengan PKI, Soekarno sendiri seperti apa posisinya dalam konflik tersebut, dan sebagainya. Sehingga dari sini kita akan melihat dengan lebih jernih kerumitan peristiwa berdarah tersebut.

Karena analisanya yang mendalam dengan bukti-bukti baru—John Rossa menggunakan Dokumen Supardjo, uraian tanggung jawab Sudisman, serta wawancara dengan mantan petinggi PKI dengan nama samaran “Hasan”—membuat kesimpulan-kesimpulannya dapat kita terima dan kita mafhum. Salah satu Kesimpulan yang arif nan bijaksana dari John Rossa adalah bahwa menurutnya pembunuhan massal atas pihak-pihak yang dianggap terkait dengan anasir komunis—petani, buruh, guru, dan lain-lain—tidak bisa dibenarkan sama sekali. Kematian tujuh jenderal, menurut Rossa, tidaklah sepadan dengan kematian jutaan orang yang tidak berdosa tapi harus terseret dalam konflik tersebut.

Buku ini tentu ada kekurangannya, namun barangkali tak perlu kita elaborasi lebih jauh seperti apa. pernyataan dan komentar positif banyak pembaca atas buku ini sudah cukup untuk merekemondasikannya kepada pembaca lebih luas, sebelum mereka terjebak lagi pada arus pencarian dalang atau otak di balik peristiwa berdarah 1965.

Orde Baru telah lama runtuh, jangan lagi kita bergelut dalam kubangan cara pandang melihat sejarah yang dangkal. Kita bisa memulainya dengan membaca “Dalih Pembunuhan Massal” yang fenomenal namun penting ini.

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: