RT - readtimes.id

Menganalisis Kekerasan Seksual di Kampus dengan Lensa Bourdieu

Pagi, saya menerima pesan untuk menandatangani petisi dari mahasiswa yang meminta kampus mengusut kasus kekerasan seksual dosen terhadap mahasiswi. Meskipun saya belum membaca berita terkait, saat mengajar Pendidikan Pancasila di Fakultas Ilmu Budaya, saya terkejut mengetahui bahwa sebagian besar mahasiswa sudah mengetahui kasus ini dan mengikuti perkembangannya. Kami membahasnya secara kritis, dan di tengah perasaan tidak aman, suara mahasiswa sangat kuat. Beberapa respon mereka mencakup pentingnya layanan psikologi untuk korban, sanksi berat untuk pelaku, kebijakan pembimbingan dosen-mahasiswa dan desain ruang aman untuk berinteraksi, serta membangun rasa simpati dan solidaritas terhadap korban.

Beberapa hari setelahnya, respon gerakan protes mahasiswa meluas dari koridor kampus hingga menjadi perbincangan nasional. Kasus dalam kampus yang seharusnya bisa ditangani dengan sumberdaya universitas, justru menimbulkan gejolak. Ketidakpuasan mahasiswa atas keputusan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual menambah kekisruhan. Skorsing 3 semester dan mencopot jabatan pelaku, adanya bagian proses penanganan kasus yang menyudutkan korban, dan respon pihak keamanan kampus atas demonstrasi mahasiswa yang represif menjadi pemicu menguatnya protes. Pemburu berita mencium aroma kabar buruk: bad news is good news!

Saya mencermati fenomena ini lebih mendalam. Situasi yang ramai dapat menimbulkan trauma bagi korban dan juga mengungkapkan ketidakadilan struktural dalam relasi kuasa di akademik. Dengan pemikiran Pierre Bourdieu tentang habitus, doxa, dan modal, kita dapat memahami fenomena ini lebih dekat. Bourdieu, sosiolog Prancis, mengenalkan konsep tersebut dalam “Outline of a Theory of Practice” (1972). Habitus adalah disposisi individu yang terbentuk oleh pengalaman sosial, mempengaruhi interaksi seseorang. Doxa mencakup nilai dan keyakinan yang dianggap benar, sementara modal mencakup sumber daya individu. Teori ini sangat berpengaruh dalam memahami relasi kuasa dan ketidaksetaraan dalam masyarakat hingga kini.

Relasi Kuasa dalam Kekerasan Seksual

Dalam konteks kekerasan seksual di kampus,
habitus berperan penting dalam membentuk relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa. Dosen, sebagai figur otoritas, membawa nilai-nilai dan kebiasaan dari sistem pendidikan, seperti gelar akademik yang tinggi dan kemampuan menentukan nilai mata kuliah, yang menciptakan tekanan pada mahasiswa untuk mematuhi norma meskipun mereka mungkin mengalami ketidakadilan.

Kebijakan yang tidak jelas mengenai penanganan kekerasan seksual juga bisa memperkuat persepsi bahwa dosen dapat bertindak tanpa konsekuensi, membuat mahasiswa merasa tidak berdaya untuk melapor. Sikap merendahkan dosen di kelas bisa menciptakan suasana menakutkan, sehingga mahasiswa enggan berbicara. Dosen yang terlibat dalam penelitian atau memiliki akses ke beasiswa dan jaringan luas juga sering kali memiliki kekuasaan tambahan, ‘memaksa’ mahasiswa untuk memenuhi harapan mereka.

Sikap diam mahasiswa diperkuat oleh doksa—atau keyakinan yang dianggap sebagai kebenaran umum—yang menganggap dosen sebagai figur yang tidak boleh dipertanyakan. Dosen lelaki, khususnya, sering memiliki kekuasaan lebih besar, menciptakan ketidaksetaraan yang memperburuk situasi. Norma yang melarang mahasiswa mempertanyakan otoritas dosen dan persepsi negatif terhadap pelaporan kekerasan seksual semakin menghambat keberanian mahasiswa untuk bersuara, menciptakan budaya ketakutan yang menghalangi korban melapor, sehingga kasus serupa bisa terus berulang.

Kondisi habitus kampus dan doksa seperti di atas dapat memperkuat relasi kuasa yang tidak setara dan memperburuk situasi bagi pihak-pihak yang rentan. Dalam diskusi di kelas di atas, seorang partisipan menyatakan bahwa ada beberapa mahasiswa merasa tertekan untuk melaporkan adanya kekerasan karena stigma dan keraguan, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka, seperti kecemasan dan depresi. Di sisi lain, ketika mahasiswa mengorganisir protes untuk membela korban dan menuntut pemberian sanksi yang berat kepada pelaku, maka ini menjadi pertanda positif bahwa kekuatan kolektif menjadi pendukung korban kekerasan. Modal sosial bisa diandalkan di kampus.

Mencari Jalan Keluar

Untuk menciptakan lingkungan akademik yang lebih aman dan egaliter, dosen perlu merefleksikan bagaimana habitus memengaruhi interaksi dengan mahasiswa. Pendidikan tentang kesetaraan dan keadilan sosial harus menjadi bagian integral kurikulum. Kampus perlu mendorong partisipasi aktif mahasiswa dalam penanganan kasus dengan membentuk komite yang melibatkan mereka, menghindari tindakan represif, dan membuka ruang dialog yang egaliter.

Kolaborasi antara dosen dan mahasiswa dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat harus ditingkatkan untuk memperkuat hubungan dan menciptakan rasa kepemilikan bersama. Transparansi dalam penanganan kasus kekerasan sangat penting untuk membangun kepercayaan dan mengurangi stigma pada korban, sementara dosen harus terbuka terhadap kritik dari mahasiswa.

Selain modal sosial, kampus perlu memanfaatkan modal ekonomi untuk meningkatkan fasilitas keamanan dan menyediakan dana untuk program pelatihan tentang kesetaraan dan hak individu. Modal budaya juga penting, dengan menyusun kurikulum yang mencakup pendidikan tentang seksualitas dan hak asasi manusia, serta mengadakan workshop untuk meningkatkan kesadaran. Modal sosial harus dimanfaatkan dengan membangun jaringan dukungan antara mahasiswa, dosen, alumni, dan organisasi luar, serta melibatkan alumni ahli dalam program mentoring. Terakhir, modal simbolik seperti komitmen dan reputasi kampus harus digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan kepercayaan masyarakat terhadap penanganan isu kekerasan seksual, sehingga mahasiswa merasa aman dalam berinteraksi pun ketika hendak melapor.

Panggilan Bertindak Bersama

Di saat krusial ini, mari kita bersama-sama mengubah cara interaksi di kampus agar setiap individu merasa dihargai dan memiliki ruang untuk berbagi pandangannya. Kita perlu melibatkan lebih banyak dosen dan kampus dalam upaya ini, menciptakan budaya inklusif yang menempatkan kesetaraan di garis depan. Dengan demikian, kita tidak hanya membangun kesetaraan, tetapi juga memperkuat semangat intelektualisme yang menjadi landasan pendidikan tinggi. Kita harus memastikan bahwa kampus adalah tempat di mana setiap suara didengar dan setiap individu, terutama korban, mendapatkan perlindungan dan dukungan yang layak. Mari kita bersatu dalam tindakan nyata, menjadikan kampus sebagai ruang aman yang mendorong dialog, empati, dan keadilan bagi semua.

Penulis : Dr.Ishak Salim, Kepala Pusat Disabilitas Unhas.

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: