Judul : Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970an
Penulis : Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit : MARJIN KIRI
Tahun : cetakan ketiga, Desember 2020
Tebal : xxii + 180 halaman
Militer. Senjata. Dua hal ini erat sekali kaitannya dengan Rezim Orde Baru, rezim yang dipimpin Soeharto selama 32 tahun. Praktik-praktik militer yang merasuk ke hampir seluruh aspek kehidupan membuat rezim ini mampu bertahan selama lebih dari tiga dekade. Senjata menjadi alat ampuh dalam meredam berbagai pemberontakan dari akar rumput.
Namun, ada satu lagi senjata Orde Baru yang pernah digunakan untuk meredam pemberontakan anak-anak muda era 1970an: GUNTING. Ya, alat pemotong satu ini pernah ditenteng oleh aparat dan pejabat di jalan-jalan, merazia anak-anak muda yang bukan karena tidak memiliki SIM ataupun STNK—namun karena mereka memelihara RAMBUT GONDRONG. Seeet, seeeet, helai demi helai rambut panjang berguguran di aspal.
Kisah tentang betapa fenomena rambut gondrong pernah mewarnai satu masa di Indonesia ditulis dengan apik oleh Aria Wiratma Yudhistira dalam bukunya, “Dilarang Gondrong: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an”. Buku yang berangkat dari skripsi penulis pada 2000an itu mencoba menelusuri mengapa Orde Baru begitu cemas pada rambut gondrong. Skripsi ini sempat ditolak dan mendapat respons dan apresiasi yang minim dari kalangan akademisi kampus penulis karena dianggap temanya terlampau sepele.
Padahal, data dan fakta yang dituliskan Aria di dalam buku ini sangat berharga bagi kita yang ingin memahami bagaimana rezim mempertahankan kekuasaannya dari segala ancaman. Dan ancaman rambut gondrong ini dipandang oleh Orde Baru sebagai ancaman kultural yang barangkali dianggap akan dapat meruntuhkan bangunan rezim yang baru dibangun sejak 1965 itu.
Buku ini berisi enam bagian—di luar kata pengantar, pendahuluan, dan sejenisnya—yang mengulik persoalan anak muda, awal kelahiran Orde Baru beserta ‘masalah’ yang diwarisi dari rezim sebelumnya (Orde Lama), dan asal muasal wacana rambut gondrong mulai muncul lantas didiskusikan dan diperdebatkan.
Buku ini menggunakan sumber koran-koran atau media-media yang pernah terbit pada era 1970an yang kemudian diperbandingkan, instruksi dan radiogram yang dikeluarkan oleh Pangkompaktip, dan perspektif Michel Foucault dalam hal bagaimana praktik kekuasaan dijalankan. Dan hasilnya adalah deskripsi faktual yang terekam media era 1970an disertai analisis mendalam terhadap data dan fakta tersebut.
Lalu mengapa Orde Baru begitu takut pada rambut gondrong? Di dalam buku ini dijelaskan bahwa rambut gondrong merupakan simbol pemberontakan dari luar yang lantas ikut masuk ke Indonesia—yakni dari Amerika Serikat yang tengah dilanda satu revolusi kultural kaum Hippies bernama Revolusi Bunga, dengan corak masyarakat yang menolak perang (maka di masa inilah terkenal istilah “Peace, Love, and Freedom” sebagai slogannya), membawa semangat kebebasan individu, dengan dandanan khas berupa rambut gondrong.
Lantas ada masalah apa dengan kultur dari luar tersebut sehingga rezim merasa perlu mengintervensinya? Ya, sebagaimana banyak orang ketahui, Orde Baru dibangun setelah berhasil meruntuhkan orde sebelumnya: Orde Lama. Orde Baru dengan Soeharto sebagai ‘bapak’nya ini jelas memiliki nilai yang bertentangan dengan Orde Lama dengan Soekarno sebagai ‘panglima’nya. Ada anasir politik dan ekonomi sebelumnya yang harus dibersihkan di dalam rumah bernama Orde Baru tersebut.
Jika Orde Lama terkenal dengan slogan “Politik sebagai Panglima”, maka Orde Baru menggunakan semangat “Ekonomi sebagai Panglima”. Demokrasi terpimpin lantas diganti dengan semangat pembangunan yang mengedepankan stabilitas dan teknokratis. Masyarakat harus dijauhkan dari kesadaran dan praktik politik. Ada pemilu lima tahun sekali tempat satu-satunya masyarakat bisa menyalurkan aspirasi politiknya. Jangan pernah sekali-kali keluar dari konsep itu, masyarakat akan segera ditindak dengan kejam oleh aparat Orde Baru.
Lalu apa hubungannya dengan rambut gondrong? Pelaksana Orde Baru adalah terbilang generasi tua. Sementara generasi mudanya sebagian besar mulai menjadi sasaran depolitisasi dan diproyeksikan akan menjadi generasi penerus bangsa. Nah, pengaruh kultural dari luar ini dipandang bisa menghambat seluruh rencana proyeksi Orde Baru tersebut. Rambut gondrong kemudian diberi stigma kriminal, suka mabuk, dan punya prilaku seks bebas.
Dan pandangan rezim ini tidak main-main, buktinya adalah dibentuknya satu badan bernama Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong) pada 1973. Kemudian Pangkopkamtib, Soemitro yang pada Senin malam 1 Oktober 1973 mengeluarkan pernyataan di acara TVRI bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig alias acuh tak acuh.
Masih banyak penjelasan menarik di dalam buku ini, bahkan sampai informasi yang terdapat di catatan kaki sekali pun akan dapat membantu kita fakta-fakta menarik di seputar masa Orde Baru berkuasa, khususnya pada era pelarangan rambut gondrong. Jadi sekali lagi, rambut gondrong memang sudah menjadi perkara serius oleh Orde Baru.
Buku sejarah yang layak jadi koleksi siapa saja untuk disimpan dalam rak bukunya.
Tambahkan Komentar