Judul : East of Eden (Sebelah Timur Eden, buku 1 dan 2)
Penulis : John Steinbeck
Penerjemah: Lulu Wijaya
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan I, 2018)
Halaman : 528 + 632
Readtimes.id– Urusan mengulik karakter tokoh (manusia) memang John Steinbeck jagoannya. Manusia dalam cerita-cerita Steinbeck seringkali tak terduga, penuh enigma, tidak pernah hitam putih. Nuansa ceritanya, setidaknya bagi saya, adalah semacam perpaduan kisah spiritual, gelap, dan penuh keliaran. Ia senantiasa mengajak kita menyelami kerumitan sifat manusia sekaligus bersimpati kepadanya. Kerumitan demikian kembali muncul dalam novelnya, “East of Eden”.
Bukan bermaksud sentimentil, namun harus saya akui: seusai membaca “East of Eden” ini, saya merasa suwung, suwung dalam pengertian spiritual, perasaan kosong yang penuh makna.
Betapa kompleks karakter manusia yang dihadirkan Steinbeck dalam roman ini. Manusia yang penuh teka-teki, manusia yang menyimpan “kolam rahasia, tempat hal-hal yang jahat dan buruk berkembang biak dan tumbuh menjadi kuat.” Hmm.
Novel super tebal ini (jika digabungkan kedu bukunya menjadi lebih 1000 halaman) mengambil latar waktu antara medio abad ke 19 sampai menjelang akhir Perang Dunia I. Ini kisah yang melibatkan dua keluarga: keluarga Hamilton yang dikisahkan berasal dari Irlandia Utara, dan keluarga Trask, dan lintas generasi. Kedua keluarga ini lantas bertemu sejak kepindahan mereka ke Salinas Valley, Amerika Serikat.
Salinas ini sejatinya tempat kelahiran John Steinbeck sendiri, yang sebelum dihuni oleh orang Amerika, pertama di ditinggali oleh suku Indian. Mungkin sebab itulah beberapa novelnya kerap kali berkisah tentang migrasi sekelompok manusia ke tanah baru, lalu berkembang, Dan bersamaan dengan itu muncullah konflik yang menelanjangi karakter sejati manusia saat menghadapi masalah tersebut.
Steinbeck mampu menarik simpati saya kepada semua tokohnya. Bukan hanya kepada mereka yang barangkali tidak banyak berbuat kesalahan atau dosa, bahkan kepada tokoh-tokoh yang bergelimang dengan pengalaman kelam, penuh darah pada telapak tangannya–germo, pelacur, ayah yang begitu jahat, dll.
Steinbeck dalam East of Eden mengajak kita mengulik watak manusia ketika berhadapan dengan masalah. Ada tokoh yang begitu sempurna pada satu konteks, namun di konteks lain tokoh tersebut bisa jadi adalah monster. Ada tokoh yang mampu menceritakan kebenaran seakan-akan itu adalah kebohongan–begitu pula sebaliknya. Ada tokoh pecinta keluarga namun mengelola rumah pelacuran dengan profesional. Dan sebagainya dan seterusnya.
Maka ikutilah perjalanan hidup keluarga Hamilton dan Trask. Pelajarilah kisah si Adam dan saudaranya Charles yang begitu penuh kontradiksi. Dengarlah si tua Samuel yang bijak dan humoris. Atau serapi filosofi kerja pelayan ala si Lee. Atau juga selami batin gelap dan misterius si Cathy (tokoh inilah yang cukup menarik perhatian saya hingga akhir buku 1). Semua itu berjalin kelindan dan saling bertemu pada beberapa titik.
Kisah-kisah mereka diceritakan dengan gelap, suram, namun selalu ada selipan yang membuat kita tertawa dan tersenyum.
Yang menarik dari novel ini sebetulnya datang dari luar cerita bukunya. Syahdan, East of Eden ini ini ditulis menggunakan 300 batang pensil. Katanya, Steinbeck menghabiskan 60 batang pensil perhari. Nampaknya, Steinbeck dia berupaya membuat cerita yang akan dikenang sepanjang masa. Dan saya rasa, East of Eden ini telah berhasil menunaikan ambisi penulisnya. Pantas saja seorang Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang telah meninggal dunia itu, begitu kagum padanya.
Tambahkan Komentar