RT - readtimes.id

“Museum Kehilangan”, Museum Bagi Munir dan Kecemasan Kita Semua

Judul : Museum Kehilangan
Penulis : Wawan Kurniawan
Penerbit : Gramedia
Tahun : 2020
Tebal : 88 halaman

Kumpulan Puisi “Museum Kehilangan” dapat dibaca dalam dua konteks: Kisah pejuang HAM Munir yang mati diracun pada 7 September 2004, dan biografi atau risalah kecemasan dan ketakutan manusia (Indonesia) berhadapan dengan kekuasaan. Buku yang berisi 65 puisi ini akan memberikan nuansa dan makna baru bagi kita dalam mengenang Munir, sekaligus mengajak kita untuk terus merawat ingatan agar tak selalu kalah di hadapan rezim yang zalim.

Buku relatif tipis yang ditulis oleh Wawan Kurniawan, penulis dan penyair asal Pinrang Sulawesi Selatan, ini mengulik dan merefleksikan pelbagai peristiwa di seputar pra, saat, dan pasca kematian Munir. Sebelum Munir berangkat naik pesawat ke Belanda, dibawa pulang ke Indonesia dalam keadaan telah meninggal, tindakan autopsi, pengadilan, solidaritas, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak kunjung menemukan jawaban.

Sesungguhnya, kita tak akan menemukan nama “Munir” secara literal dalam semua puisi di sini—hanya berupa akronim, “M”. Namun, melihat gambar sampul berupa oval jendela pesawat yang menampilkan langit senja, dan melalui ‘kode-kode’ dan piranti-piranti dalam puisi seperti ‘penerbangan’, ‘jendela pesawat’, lebih terang lagi berupa nama istri (Suciwati) dan anak-anak Munir (Soultan Alief Allende, Diva Suukyi Larasati) , cukup absah bagi kita bahwa memang “Museum Kehilangan” ini adalah semacam dedikasi kehilangan untuk lelaki ceking yang kritis itu.

Sebab Munir hanya ditulis dengan ‘M’, maka kita bisa membaca “Museum Kehilangan” ini dalam konteks kedua: ‘M’ yang bisa jadi nama siapa saja, yang sewaktu-waktu dapat terancam bernasib sama seperti Munir di hadapan kekuasaan yang takut dan gemetar di hadapan kebenaran. Sebab itulah seperti telah dikatakan buku ini adalah museum untuk kecemasan kita sendiri.

Nampaknya, sang penyair mengendap materi puisinya dengan baik, sehingga tak ada puisi yang jatuh pada nuansa pamflet atau klise yang diteriakkan dengan keras namun kehilangan daya sihir. Dia mencoba memberi makna pada setiap peristiwa pada seputar tragedi Munir. Tentu saja kita akan terbantu dengan data atau fakta yang telah jadi berita semisal pesawat GA-974 yang ditumpangi Munir (dalam puisi “GA-974”), takaran racun dalam tubuh Munir yakni 3,1 mg/1 arsen (dalam puisi, “Racun”), atau solidaritas yang muncul khususnya yang membentuk aksi rutin setiap hari Kamis yang disebut Kamisan di depan istana negara (dalam puisi, “Di Bawah Teduh Payung Hitam”).

langit lebih hitam dari jas resmi bapak presiden
di luar pagar istana kami berdiri menopang
perjalanan hilang setumpuk nama

angin tak tentu
mengajari kami menggenggam
lebih erat lagi

kau memberi cara terbaik lupa
namun ingatan kami bermukim
di bawah teduh paying hitam”

Namun demikian, dia berupaya menyelipkan berbagai makna dan perenungan dari peristiwa faktual semacam itu. Coba kita simak versi lengkap puisi “Di Bawah Teduh Payung Hitam”:
“langit lebih hitam dari jas resmi bapak presiden
di luar pagar istana kami berdiri menopang
perjalanan hilang setumpuk nama

Atau simak puisi “Jendela Ini dari Masa Silam”. Penyairnya mencoba menarik peristiwa diracunnya Munir dengan kisah epik tentang filsuf Yunani bernama Sokrates, yang dikenakan hukuman dengan meminum racun. Ini sebuah tautan kisah yang cerdas, karena baik antara Munir dan Sokrates sama-sama mati karena racun juga atas kasus yang sama: tentang memberitakan kebenaran.

Maka itu memang tepat sekali jika puisi tersebut diberi judul “Jendela Ini dari Masa Silam”. Karena jendela pesawat yang dipandang Munir menyediakan kita pemandangan masa silam tentang Sokrates yang meminum racun. Begini bait pertama puisi tersebut:

sebelum Socrates meneguk racunnya
para muridnya datang menampung
nasihat yang belum rampung
di hadapan tanda tanya”

“tanda tanya”. Ya, kisah Munir juga berakhir dengan tanda tanya yang belum tuntas menampilkan jawabannya. Hingga saat ini keadilan belum benar-benar datang memeluk keluarga Munir yang ditinggalkan, khusus istri dan anak-anaknya. Sebab itulah buku puisi ini ditutup dengan puisi sangat pendek berjudul “Diva Suukyi Larasati”. Versi asli di bukunya sebetulnya memiliki tipografi berupa dua silangan garis dan satu tanda tanya cukup besar. Tapi biarlah kutip sekadar teksnya saja:

“mengapa
abah
dibunuh”

Puisi sangat ringkas itu nampak sederhana, tapi dalam konteks alur dan susunan ke-65 puisi di dalam “Museum Kehilangan”, bait berupa pertanyaan itu telak mengusik kemanusiaan kita. Nampak sederhana, tapi entah mengapa begitu susah dicari jawabannya.

Avatar

Dedy Ahmad Hermansyah

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: