RT - readtimes.id

Mutiara yang Mengundang Malapetaka Dedy Ahmad Hermansyah

Judul : Mutiara
Penulis : John Steinbeck
Penerbit : kakatua
Cetakan : Agustus 2022
Tebal : iv + 112 halaman

Kino seorang Indian miskin yang memiliki istri bernama Juana, dan balita bernama Coyotito. Kino seorang penyelam mutiara. Suatu hari dia menemukan mutiara paling besar di lautan. Kino merasa hidupnya akan berubah: dia bisa menyekolahkan anaknya di masa depan, bisa membeli sampan yang bagus, memiliki harta yang cukup, dan sebagainya. Namun, jauh panggang dari api: mutiara itu justru mendatangkan kutukan berupa keserakahan dan kejahatan. Kino kehilangan anaknya, dan mutiara itu dikembalikan ke laut olehnya dan istrinya.

Itulah kisah rakyat Meksiko yang didongengkan kembali oleh John Steinbeck, pengarang Amerika penerima Nobel Sastra 1962. Dengan gaya khas penceritaannya yang cenderung filosofis, “Mutiara” mengajak pembaca menyelami apa makna keinginan dan kebutuhan. Dan bagaimana keserakahan serta kejahatan senantiasa mengintai di sekitar ‘kekayaan’.

Secara alur, novela seratusan halaman ini cenderung lambat, tapi mudah diikuti: dimulai dari Kino dan Juana yang membawa anak mereka, Coyotito ke dokter, akibat disengat kalajengking. “Apa aku sudah tak punya pekerjaan lagi sehingga harus engobati gigitan serangga untuk Indian? Aku ini dokter umum, bukan dokter hewan.” Begitulah justru tanggapan yang diterima Kino dan istrinya.

Lalu kisah berlanjut pada penemuan Kino akan mutiara paling besar yang pernah didapatkan nelayan lain. Di sinilah tragedi mulai datang: berita itu menyebar bagai virus ke seluruh tempat, orang-orang penasaran dengan mutiara temuan Kino, sebagian pembeli mutiara berkomplot untuk menjatuhkan harga, perampok membakar rumahnya, pengintai memburunya dalam perjalanan ke kota dan membunuh anaknya, dan berbagai tragedi berdarah lainnya.

Narasi dan deskripsi khas John Steinbeck mampu membuat kita merasakan setiap ketegangan demi ketegangan, khususnya pada masa perburuan beberapa orang terhadap dirinya. Lewat sudut pandang ketiga yang serba tahu, kita diajak masuk ke suara batin terdalam Kino maupun istrinya. Ditambah deskripsinya yang super detail akan membuat kita merasakan betapa subur dan liar hutan orang-orang Indian.

Dan tentang Indian, novela ini memberikan konteks di mana suku ini mulai kehilangan jati diri. Kita bisa melihat ini dalam diri Kino yang sering merindukan tembang-tembang nenek moyangnya, dan tembang itu biasa muncul begitu saja di saat-saat yang tak terduga. Indian dalam “Mutiara” ini adalah bangsa yang perlahan-lahan sirna dihantam arus kebudayaan dari luar dirinya.

Begitulah, “Mutiara” disajikan ke hadapan kita lewat penceritaan kembali penulis besar asal Amerika. John Steinbeck seakan hendak mengatakan, bahwa kekayaan tidak bisa menghapus semua masalah begitu saja. Ambisi yang besar justru akan mengundang malapetaka. Tapi bukan berarti bahwa Steinbeck mengajarkan moral pentingnya menjadi sederhana secara rigid dalam bentuk hidup miskin—Steinbeck sekadar memperingatkan, ambisi pada kekayaan akan mengikutkan konsekuensi yang serupa bencana.

Novela (tipis) ini saya rasa akan meninggalkan gaung yang lama dalam kepala kita—sebagaimana membaca karya Steinbeck yang lain. Saya rasa masih kuat kritik Steinbeck pada kondisi sosial masyarakat modern seperti yang sering sekali muncul dalam novel-novelnya yang lain. Wajah hipokrit sebagian besar orang modern—seperti dicerminkan si dokter yang awalnya menolak mengobati anaknya Kino, lalu berubah 180 derajat hanya karena mengetahui Kino kini punya mutiara besar—terpampang dengan jelas.

“Pada dasarnya hasrat manusian tidak pernah terpuaskan, setelah mendapat satu hal mereka akan menginginkan sesuatu yang lebih dari itu.” Ini kata-kata John Steinbeck. Dan ya, kebenaran kata-katanya tersebut terwakili oleh “Mutiara”-nya ini yang berkilau namun menakutkan.

Dewi Purnamasakty

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: