Judul : Mengapa Aku Harus Membaca?
Penulis : Abinaya Ghina Jamela
Penerbit : Gorga Yogyakarta
Cetakan : kedua, Februari 2020
Halaman : 117 hlm
“Namaku Abinaya. Umurku sembilan tahun. Aku siswa kelas empat sekolah dasar. Kata orang-orang, aku suka membaca. Menurutku, sih, biasa saja. Aku membaca hanya ketika aku suka. Dan aku punya buku-buku yang bikin aku suka membaca.”
Begitulah Abinaya Ghina Jamela memulai paragraf pertama dalam esai pertama buku ini, “Aku dan Buku”. Judul sampul buku ini sendiri adalah “Mengapa Aku Harus Membaca?”. Dan judul sampul ini nampaknya mencoba mewakili suara hati Abinaya, bukan dicopot dari salah satu judul esainya—karena di dalam buku ini tak ada esai dengan judul tersebut.
Abinaya saat ini memang tidak lagi berumur sembilan tahun, tapi tiga belas tahun—ia lahir pada 2009. Namun demikian, umur 13 masih bisa dikatakan usia yang gemilang dan menakjubkan untuk seorang anak yang gemar membaca dan pintar menulis. Lebih-lebih jika mengetahui dia menulis sudah dari umur sembilan tahun—bahkan sebelum umur segitu.
Abinaya adalah penulis cilik yang mulai menarik minat publik sejak buku puisinya terbit, “Resep Membuat Jagat Raya”. Buku puisi perdananya ini berisi sekumpulan puisi yang dia tulis sejak berumur lima tahun. Pada 2017 lalu, “Resep Membuat Jagat Raya” masuk ke dalam 10 karya terbaik kategori Karya Perdana dan kedua Kusalah Sastra Khatulistiwa, sebuah ajang penghargaan sastra yang sohor di Indonesia.
Sampai saat resensi ini dibuat, setidaknya sudah ada lima karya Abinaya Ghina Jamela yang terbit: satu kumpulan cerpen, satu kumpulan puisi, satu novel, dan dua kumpulan esai. Artinya, jika dihitung sejak umur lima tahun, sudah sembilan tahun Abinaya aktif berkarya. Ini prestasi yang sangat mengagumkan. Sembilan tahun ada telah ada lima buku dengan beragam genre.
Mari kembali ke buku yang sedang saya bahas ini: “Mengapa Aku Harus Membaca?”
Ada 17 tulisan pendek-pendek yang sebagian besarnya adalah ulasan kritis Abinaya atas sejumlah buku yang dia baca atau film yang dia tonton—sebagian kecilnya berisi curhatan Abinaya sendiri terhadap berbagai hal, mulai dari kesenangannya dalam membaca atau hasil mengamati fenomena sekitarnya.
Kenapa ulasan kritis? Karena Abinaya berani menyatakan penilaian dan pendapat pribadinya atas buku-buku dan film-fim tersebut, jadi bukan sekadar menceritakan ulang dengan sanjung puja-puji atasnya. Dan ini tentu saja mengagumkan sekaligus menggemaskan membaca catatan kritis dari sudut pandang bocah sembilan tahun. Ini sebetulnya sudah nampak dari pemilihan judul-judul esainya. Misalnya, “Herman Hesse yang Membosankan”, esai berisi ulasan buku “Siddharta”. Atau “Roald Dahl Itu Penulis Buku Anak-anak, Tetapi Mengapa Kejam Sekali pada Matilda?”, esai yang mengkritik penulis bernama Roald Dahl. Satu lagi sebagai contoh, “Woody di Toy Story Itu Hiperbolis: Lebih Susah Jadi Anak-anak”, esai berisi pendapat Abinaya terhadap film kartun terkenal tentang dunia boneka, “Toy Story”.
Barangkali bisa dibayangkan, dari judul-judul tersebut, seperti apa Abinaya mengelaborasi tema-tema esainya, karena dari judul-judulnya saja sudah mendedahkan nuansa gugatan atau penilaian kritisnya sendiri.
Lalu ada juga sebagian kecil tulisan Abinaya yang bukan merupakan ulasan khusus atas buku atau film tertentu, tapi hal-hal keseharian yang dia rasakan. Misalnya, “Aku dan Buku”, esai yang telah disinggung di pembuka ulasan ini. Di sini Abinaya bukan hanya berkisah sedikit tentang awal mula dia menyenangi dunia bacaan dan menulis serta buku-buku yang dia senangi, namun dia juga menggugat orang dewasa dan kondisi dunia baca membaca (seperti perpustakaan) di sekitarnya. “Di sekolahku ada perpustakaan. Sayang koleksinya tidak banyak. Beberapa saja yang menurutku menarik. Di perpustakaan sekolah, terlalu banyak buku pelajarannya. Untuk apa aku membaca buku paket di perpustakaan?” begitu contoh bunyi gugatan Abinaya.
Atau esai lainnya, “Tolong, Ya, Anak Usia 9 Tahun Suka Membaca Itu Nggak Aneh”. Esai ini berisi curhatan Abinaya yang aneh melihat orang dewasa yang terheran-heran jika mendapati ada anak usia 9 tahun suka membaca. Padahal, menurut Abinaya, itu tidaklah mengherankan. Biasa saja. Malah dia merasa aneh ketika banyak teman-temannya yang tidak suka baca buku, dan malah asyik dengan handphone. “…Yaaah, tapi aku tidak yakin semua anak akan membaca meski sudah dipaksa. Anak-anak sekarang sepertinya lebih suka menonton televisi atau bermain handphone. Teman-temanku seperti itu…” begitu kata Abinaya.
Kelebihan buku ini adalah isinya yang menggugat dunia orang dewasa dan menyelami dunia serta alam pikiran anak kecil justru dari sudut pandang anak kecil sendiri. Suara anak kecil dalam buku ini bukan diwakili oleh orang dewasa. Dan sebab itulah kenapa buku ini memiliki nilai lebih tersendiri dibandingkan buku-buku lain dengan tema seputar anak.
Saya rasa kita sebagai orang dewasa perlu meluangkan waktu lebih untuk mendengarkan suara batin dan gugatan anak kecil terhadap kita. Jika dirasakan belum punya waktu luang untuk itu, atau mau mencoba, boleh dimulai dengan membaca buku “Mengapa Aku Harus Membaca?” yang ditulis oleh Abinaya Ghina Jamela ini.
Tambahkan Komentar