RT - readtimes.id

Nasib Muatan Lokal & Ikhtiar Setengah Hati, Sebuah Catatan untuk Bupati Wajo

Seorang mahasiswa baru kebingungan saat diminta menyampaikan tanggapan ihwal sejarah dan kebudayaan Wajo. Ia terdiam, sebelum mengonfirmasi ketidaktahuannya. Hal serupa juga dialami mahasiswa baru lainnya saat diberikan pertanyaan yang sama. Mereka hanya saling menatap, dan pada akhirnya mengucapkan :  tidak tahu. 

Situasi semacam itu bukan barang langka dalam persamuhan intelektual yang digelar salah satu organisasi kedaerahan asal Wajo. Hampir setiap tahunnya, peserta persamuhan memperlihatkan mimik yang sama. Mereka tak mengenal daerahnya, baik dari sisi historis maupun sosiologis, walaupun saban tahun pemerintah daerah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit untuk memperingati Hari Jadi Wajo. 

Ketidaktahuan itu, bukan salah mereka. Sejak awal, bangku sekolah tidak mengajarkan hal tersebut. Sejarah yang mereka pelajari adalah sejarah nasional, yang tidak memuat informasi tentang daerah mereka. Perpustakaan sekolah yang diharapkan menjadi bank referensi alternatif, juga tidak menyediakan buku ataupun literatur yang memuat dimensi lokalitas. Sudah beruntung jika mereka diajarkan bahasa daerah, meski masih terbatas pada pengenalan Lontara. 

Pemerintah daerah sebagai bagian dari penyelenggara pendidikan bukannya diam dan berpangku tangan. Dua tahun sebelumnya, Bupati Wajo telah mengesahkan Peraturan Daerah No.13 Tahun 2021 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah. Regulasi ini menetapkan  empat  upaya yang diperlukan untuk memajukan kebudayaan daerah. 

Pertama, upaya perlindungan yang dilakukan dengan cara inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan dan publikasi. Kedua, upaya pengembangan untuk menghidupkan ekosistem, serta memperkaya dan menyebarluaskan kebudayaan. Ketiga, upaya pemanfaatan melalui pendayagunaan objek pemajuan kebudayaan untuk menguatkan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan dalam mewujudkan tujuan nasional. Dan yang terakhir, upaya pembinaan yang dilakukan melalui pemberdayaan sumber daya manusia, lembaga dan pranata kebudayaan dalam meningkatkan dan memperluas peran dan inisiatif masyarakat. 

Hanya saja, apa yang tertuang dalam regulasi belum sepenuhnya diamalkan. Upaya yang terlihat selama ini masih pada tahap perlindungan. Sumber daya yang dimiliki lebih banyak ditujukan untuk melakukan inventarisasi artefak, yang tidak dibarengi dengan produksi pengetahuan. Alhasil paradigma tentang kebudayaan lokal, hanya dilihat dari aspek bendawi. Tidak mengherankan jika upaya pelestarian yang dilakukan oleh komunitas maupun individu memperlihatkan langkah yang kontradiktif. Budaya dilestarikan secara aksidental, namun tanpa disadari, nilainya dicampakkan pada sisi yang lain.

Sekolah Sebagai Titik Awal

Institusi pendidikan merupakan titik yang paling tepat untuk memulai ikhtiar kebudayaan. Melalui sekolah, nafas kebudayaan lokal sangat mungkin untuk dihidupkan. Kehidupan sekolah dapat dimanfaatkan untuk membangun ekosistem kebudayaan secara utuh. 

Berbagai payung hukum telah memberikan ruang atas hal ini. Perda Wajo No. 13 tahun 2021 menyebutkan institusi pendidikan sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah untuk melaksanakan pengarusutamaan kebudayaan. Juga Perda Wajo No.7 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Pendidikan, yang memberikan kewenangan bagi satuan pendidikan untuk menyusun kurikulum muatan lokal yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah. 

Dalam skala makro, implementasi kurikulum merdeka yang ditetapkan oleh Kemendikbud Ristek juga memberikan fasilitas bagi pemajuan kebudayaan. Melalui mata pelajaran muatan lokal, pemerintah daerah diberikan ruang untuk menentukan konten pelajaran yang disesuaikan dengan keunikan dan karakteristik daerah. Ada tiga opsi yang diberikan : menambahkan muatan lokal menjadi mata pelajaran tersendiri;  mengintegrasikan muatan lokal ke seluruh mata pelajaran; dan/atau melalui proyek penguatan profil pelajar Pancasila.

Pembelajaran muatan lokal yang memuat konten kebudayaan memungkinkan peserta didik untuk mengenal daerah dari berbagai sisi. Tidak terbatas pada akar kesejarahan, tapi juga sistem sosial, ekonomi, politik, kesehatan, religiusitas, dan kebudayaan yang hidup di masyarakat. 

Sekolah menjadi pintu dalam pengenalan sebaran flora dan fauna di daerah. Karakteristik wilayah, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Institusi sosial, mata pencaharian penduduk, kesenian setempat dan dimensi lokalitas lainnya. Sekolah menjelma laboratorium sosial yang menyuguhkan lembaran-lembaran fakta lapangan, yang menumbuhkan iklim belajar transformatif. Dengan demikian, peserta didik lebih dekat dengan realitas sosialnya. 

Kurikulum muatan lokal yang tersistematis pada setiap jenjang pendidikan, akan mengantarkan peserta didik pada kemampuan reflektif.  Mereka dapat mengetahui dan mengidentifikasi persoalan daerah sejak awal, mengetahui potensi daerah yang dapat dikembangkan, sehingga mereka bisa merencanakan peran dan kontribusi yang akan mereka berikan bagi pembangunan daerah di masa mendatang. 

Sebuah Kritik

Ikhtiar kebudayaan yang selama ini dikerjakan oleh pemerintah daerah patut diapresiasi. Adanya payung hukum, merupakan wujud komitmen kebudayaan pemerintah daerah. Hanya saja kerja-kerja kebudayaan oleh pemerintah masih mengedepankan sisi artifisial dan simbolik. Peran institusi pendidikan sebagai instrumen pemajuan kebudayaan belum dioptimalkan. Entah apa kendalanya. Sumber daya manusia yang tidak mumpuni,  kemampuan anggaran yang terbatas, atau memang belum ada upaya untuk menginisiasi hal ini secara serius?

Penulis adalah pegiat Sekolah Rakyat

3 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: