
Readtimes.id–” Sebenarnya itu bukan hal baru lagi bagi teman-teman yang berkecimpung di dunia digital, itu berubah menjadi sesuatu yang baru karena baru diketahui publik dan menjadi masif, ” ujar Syamsu Alam Ketua Prodi Bisnis Digital Universitas Negeri Makassar pada readtimes.id, menyoal maraknya sejumlah kasus bocornya data pribadi masyarakat ke pihak ketiga setelah melakukan transaksi jual beli online, perbankan maupun penggunaan sosial media.
Seperti yang diketahui di Indonesia, terhitung dari bulan Mei 2020 setidaknya ada 7 kasus kebocoran data baik yang dialami oleh pihak pemerintah maupun perusahaan swasta, seperti platform e-commerce yang menyebabkan miliaran data pengguna atau pun pelanggan beralih ke pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab. Dampak yang dirasakan bagi pemilik data pun beragam, dari yang ringan hingga serius, dari yang hanya sekedar mendapat pesan singkat berupa promo iklan terus-menerus, hingga pemerasan yang berujung pada kerugian jutaan rupiah.
Namun hal tersebut memang sangat sulit dihindari dalam pesatnya perkembangan transaksi dunia digital hari ini. Selain tingkat proteksi penyimpanan data yang lemah, transparansi penggunaan dan pengelolaan data penyedia jasa layanan digital pun turut menjadi persoalan, seperti yang kemudian disinggung oleh Syamsu Alam pada kesempatan yang sama
” Sebagai pengguna jasa kita pasti sering mendapati semacam syarat dan ketentuan penggunaan data ketika kita mengakses sebuah layanan e-commerce kan? Nah, disitu sebenarnya kan memuat informasi data kita akan dipergunakan untuk apa, tapi karena bahasanya sulit untuk dipahami dan kalimatnya panjang akhirnya kebanyakan dari kita langsung klik tombol setuju saja. Ini lah yang terkadang menjadikan dasar bahwa kita pemilik data sudah memberikan izin kepada mereka untuk secara bebas menggunakan data kita, ” terang Ketua Masika ICMI Kota Makassar tersebut
Hal ini yang kemudian menurut pihaknya perlu diperhatikan oleh para pelanggan atau pengguna jasa digital, agar lebih berhati-hati dalam memberikan informasi khususnya terkait data pribadi yang diminta oleh penyedia layanan jasa digital untuk keperluan aktivasi. Pengguna berhak mengetahui sejauh mana data pribadi miliknya akan dipergunakan oleh penyedia jasa.
” iya sebaiknya sebagai pelanggan di lain sisi kita juga harus cerdas dengan tidak memberikan data yang sensitif untuk diketahui publik. Berikan saja data yang umum. Hindari memasukkan Nomor Induk Kependudukan ( NIK), data rekening, juga angka-angka di kartu ATM kita misalnya, ” tambahnya
Ketika disinggung lebih jauh mengenai kemungkinan penghapusan permanen data pribadi yang telah tersebar, pihaknya mengaku pesimis untuk dapat dilakukan secara total apabila data tersebut telah tersebar di berbagai server. Terlebih penyedia layanan jasa digital pun terkadang tidak mengetahui bahwa server mereka telah diretas, dan enggan mengakui itu sebagai sebuah kasus kebocoran demi menghindari kehilangan pelanggan.
Pada akhirnya selain mengedukasi masyarakat terkait pentingnya sebuah data pribadi dan menuntut transparansi penggunaan data oleh penyediaan layanan jasa digital, negara sejatinya juga perlu hadir dengan payung hukum yang kuat untuk melindungi data pribadi warganya dari serangan pihak -pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kemudian disalahgunakan. Karena ke depan sangat mungkin pertahanan negara bukan hanya dinilai dari seberapa banyak kepemilikan jumlah armada atau alutsista, melainkan seberapa mampu sebuah negara melindungi data warganya, sebelum dunia benar-benar memasuki arena perang tanpa senjata juga manusia.
Baca juga : Transaksi Digital yang Berakhir Kebocoran
1 Komentar