RT - readtimes.id

Orang-orang Oetimu: Tragedi dan Cinta di Tengah Konflik

Judul                : Orang-Orang Oetimu

Penulis             : Felix K. Nesi

Penerbit           : Marjin Kiri

Tahun Terbit   : 2019  

Tebal                : viii+220 hlm 

“Sebuah contoh fiksi etnografis yang digarap dengan baik,” begitu kutipan pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2018 atas novel yang ditulis oleh Felix K. Nesi, laki-laki asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini. Novel etnografis? Di bayangan saya novel ini akan ‘mengeksploitasi’ sedalam-dalamnya perihal kehidupan dan tradisi suatu daerah lengkap dengan permasalahan dan kebijaksanaannya. Rupanya saya keliru.

Memang pada bagian saat memperkenalkan tokoh bernama Am Siki ada nuansa ‘etnografis’ yang saya bayangkan sebelumnya. Ada aroma magis di mana keluarga Am Siki percaya jika leluhur mereka dulunya tercipta dari pohon lontar. Seluruh keluarganya mati tersebab pohon lontar. Ayah hingga buyut Am Siki semuanya mati di bawah naungan lontar. “Sebab tercipta dari lontar, maka mati terhempas dari pohon lontar adalah jalan pulang yang mulia untuk bersatu dengan leluhurnya.”

Suku Am Siki sendiri tidak suka berperang. Mereka punya prinsip bijak: “segala yang tumbuh di atas tanah itu hanya milik leluhur semata. Jika membutuhkan sesuatu, ambillah, tetapi untuk apa berperang?”

Namun gambaran magis dan mistis tersebut hanya bertahan tak sampai dua bab penuh. Sisanya adalah hamparan peristiwa tragis, kelam, suram, dan berbalut dendam di antara tokoh-tokohnya. Seluruh jenis peristiwa tersebut berlangsung pada wilayah kecil bernama Oetimu di pelosok NTT dalam kurun waktu 1990an, saat Orde Baru sedang garang-garangnya.

Oetimu dalam Novel yang memenangkan Sayembara Novel DKJ ini sebetulnya daerah yang unik dan menarik. Ia adalah persimpangan tempat bertemunya orang-orang dengan masa lalu yang menyedihkan, kelam, dan menyimpan dendam. Oetimu adalah daerah di mana cermin dan simbol praktik kekuasaan yang menindas dihamparkan. Oetimu adalah garba yang berisi segala macam keliaran, kelicikan, dan tindakan kesewenang-wenangan berlangsung.

Cinta yang kandas hingga dendam akibat peristiwa politik yang kisruh

Setidaknya dalam empat bagian pertama novel ini, kita dihadapkan pada fragmen latar peristiwa dan tokoh yang berbeda-beda. Sementara bab-bab berikutnya beberapa tokoh dari bagian sebelumnya mulai bertemu dan berjalinlah cerita yang baru.

Pada bagian-bagian awal kita direntangkan kisah peristiwa penyerbuan rumah Matin Kabiti pada malam final piala dunia antara Brazil dan Prancis. Berikutnya kita diajak mengikuti peristiwa politik berupa kudeta di Lisabon, Ibukota Portugal, tahun 1974, yang ikut berimbas pada peristiwa politik lainnya di Timor Timur. Kemudian kita akan berkenalan dengan tokoh lokal penting dan dianggap pahlawan karena telah membunuh banyak sekali tentara Nipon di wilayah Kamp Kerja Paksa: Am Siki. Lalu sebagai akibat dari peristiwa kisruh politik di bagian sebelumnya, kita akan berkenalan dengan gadis remaja Portugis bernama Laura, korban perkosaan masa perang, yang lalu melahirkan tokoh ‘penting’ di bagian-bagian sisa novel: Sersan Ipi.

Sebetulnya, ada banyak sekali tokoh dalam novel ini. Dan penulisnya terlihat berupaya menceritakan secara detail kisah masa lalu mereka. Mungkin bagi sebagian pembaca hal ini nampak membosankan. Namun demikian cara penulis menggambarkan peristiwa yang kadang konyol dan kocak, liar dan cukup vulgar, dan tragis mengharu-biru, menjadikan bagian yang berpotensi menjemukan ini sedikit tertanggungkan.

Tokoh-tokoh dalam novel ini, secara garis besar, berurusan dengan kisah pribadi masing-masing seperti masalah percintaan (yang kandas), namun terikat dan berjalin kelindan dengan peristiwa politik yang lebih besar. Ambil contoh, kisah cinta terlarang Romo Josef dan Maria yang beririsan dengan kebencian Maria terhadap aparat dan elit negara serta sedikit banyak pada gereja. Puncak kebencian Maria ini meledak pada acara pemakaman suami dan anaknya yang masih kecil karena ditabrak oleh Unimog, kendaraan buatan Jerman yang digunakan oleh militer Indonesia saat kisruh Timor Timur. Kendaraan militer ini ternyata sudah memakan banyak korban sipil, namun anehnya dianggap biasa saja. Maria lalu mengakhiri hidupnya dengan terjun ke bawah jembatan setelah Romo Josef memilih tinggal di daerah pedalaman, Oetimu.

Atau Sersan Ipi sendiri, dia berasal dari keluarga Portugis yang turut menjadi korban peristiwa kudeta di Timor Timur. Atau juga Silvy, perempuan muda yang menjadi rebutan laki-laki di Oetimu, yang lahir dan besar dalam keluarga yang kacau setelah ibunya meninggalkan ayahnya dan dia, dan ayahnya menghabiskan seluruh hartanya untuk membeli minuman keras dan menyewa pelacur. Atau terakhir Martin Kabiti yang didatangi oleh Atino untuk balas dendam atas kematian keluarganya saat meledak kekacauan politik di Timor Timur.

Liar, konyol dan jenaka, juga sekaligus tragis

Kesan paling kuat yang terkandung dalam setiap lembar novel ini adalah keliaran, kekonyolan, kejenakaan, juga kesedihan yang tragis. Kita akan tertawa dengan berbagai jenis tawa macam tawa tertahan hingga yang terbahak-bahak. Kita akan sedih dengan berbagai tingkatan kesedihan. Nyaris tak ditemukan warna sentimental di dalam novel ini.

Simak saja alasan nyaris absurd Am Siki yang membunuh tentara Belanda. “…Saya membunuh bukan untuk menyelamatkan Bangsa, tetapi untuk menyelamatkan kuda saya.” Ya, dia sakit hati karena kudanya diperkosa tentara Jepang. Peristiwa ini dia ulang-ulang terus dalam dongeng yang diceritakan kepada anak-anak Oetimu—yang membikin resah para orang tua—dengan mengulang-ulang bagian nasib kudanya. “Jangan dibunuh, sekalipun itu orang jahat. Jangan diperkosa sekalipun itu kuda.”

Kekonyolan semacam yang dialami Am Siki juga dengan mudah kita dapatkan pada bagian-bagian dan tokoh-tokoh lain dalam novel ini.

Keliaran juga berceceran di beberapa bab, khususnya berkaitan dengan seks dan minum-minuman keras. Penggambaran hubungan ‘panas’ ini cukup vulgar dan liar. Namun demikian, kita bisa menangkap makna dan simbol lain dari hubungan asmara tersebut. Kita akan menemukan bagaimana praktik tersembunyi dan rahasia beberapa pastor berkaitan dengan seks. Atau cermin klise di mana hasil dari hubungan seks sangat merugikan perempuan dan laki-laki hanya bisa tertawa dan tidak merasa bersalah sama sekali.

Kesan yang tidak kalah kuatnya adalah soal nasib (cinta) yang tragis. Entah kenapa banyak tokoh di dalam novel ini mati ‘begitu saja’ meninggalkan luka dan harapannya. Laura, perempuan muda Portugis ibu kandung Sersan Ipi memutuskan mengakhiri hidupnya setelah melahirkan anaknya. “Saya sudah melahirkan dengan selamat, Kek,…Sekarang, biarkan saya bertemu dengan ayah ibu.”

Sersan Ipi sendiri juga mati dengan kepala terpotong tertebas kelewang saat bertarung dengan orang yang menyerang rumah Matin Kabiti—sementara dia tengah mempersiapkan pernikahannya dengan Silvy. Dan Maria, perempuan aktivis yang pernah menjalin affair dengan Romo Josef bunuh diri dengan terjun ke bawah jembatan Liliba tak lama setelah suami dan anak kecilnya mati ditabrak kendaraan militer Indonesia dan menyusul Josef yang memilih pindah ke pedalaman Oetimu. Sungguh tragis. Dan penggambaran tentang kematian mereka tidak diceritakan dengan sentimental. Mereka mati, ya mati begitu saja.

Ona Mariani

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: