Oleh : Endang Sari, Komisioner KPU Kota Makassar
Saya selalu terkesan dengan kata-kata Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, “ Welas asih manusia mengikat kita yang satu dengan yang lain – bukan dengan rasa kasihan atau merendahkan tetapi sebagai manusia yang telah belajar bagaimana mengubah penderitaan kita bersama menjadi harapan untuk masa depan”
Kata-kata pejuang kemanusiaan itu, telah menginspirasi saya pada banyak kesempatan dan momentum termasuk dalam momentum sebagai penyelanggara pemilu sekaligus sebagai seorang dosen ilmu politik di Universitas Hasanuddin. Tentang sebuah keyakinan, ‘bahwa kasih sayang adalah ikatan terbesar bagi kita sebagai sesama manusia yang akan mengubah penderitaan menjadi harapan bagi masa depan’.
Pada konteks kepemiluan, pasca pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat serta seluruh elemen penyelenggara pemilu berkumpul dan bersepakat akan menggelar pemilu serentak baik rezim pemilu nasional dan lokal dalam tahun yang sama yakni pada tahun 2024, bayangan saya kembali pada tiga catatan penting akan momentum pemilu dan peristiwa kemanusiaan tahun 2019.
Catatan yang layaknya kata Mandela, peristiwa penderitaan yang mesti kita ubah untuk menjadi harapan perbaikan bagi Pemilu kita di tahun 2024 yang akan datang. Pertama, saya ingin mengutip kesimpulan reflektif yang disampaikan oleh mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman (Kompas/ 22/01/2020) bahwa pemilu 2019 menelan korban 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit.
Menurut Arief Budiman, beban kerja yang berat selama penyelenggaraan pemilu dan faktor kelelahan adalah hal yang paling utama. Rekaman catatan reflektif, komisioner KPU-RI Arief Budiman ini, mesti dijadikan acuan oleh seluruh lembaga negara yang terkait penyelenggaraan pemilu 2024 untuk mendesain tahapan pemilu yang tidak menyebabkan beban kerja yang berat terutama bagi para penyelenggara adhoc di lapangan yakni mereka yang menjadi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan.
Sebagai orang yang belajar dan mengajar ilmu politik, saya percaya ‘pemilu adalah pesta atau ajang bagi rakyat untuk memberikan mandat’. Karena itu, tentu kita tidak berharap demi pesta, kita mengorbankan nyawa para penyelenggara pesta itu sendiri. Kepastian regulasi akan tahapan, menghindari penumpukan tugas dalam satu waktu, termasuk pertimbangan beban kerja, mesti benar-benar dipikirkan dalam desain Pemilu 2024 yang akan digelar dalam tahun yang sama.
Kedua, Perlindungan Sumber Daya Manusia (SDM) Penyelenggara adhoc dalam bentuk tunjangan ataupun asuransi kesehatan mesti menjadi prioritas bagi petugas pemilu di lapangan yakni mereka para KPPS, PPS dan PPK. Mengapa hal ini penting? Karena kita masih dalam situasi pandemi yang kita belum tahu kapan akan berakhir, sementara kita tidak bisa menghindari event pelaksanaan pemilu senantiasa melibatkan kontak langsung mulai dari tahapan pemuktahiran data pemilih, verifikasi, masa sosialisasi tahapan, pencalonan, termasuk ketika pemilihan dilaksanakan, hingga proses rekapitulasi perhitungan suara.
Para petugas KPPS, PPS dan PPK merupakan ujung tombak dari Pemilu kita, karena itu sudah sewajarnya mendapatkan perhatian khusus untuk tunjangan/honorarium dan jaminan asuransi kesehatan. Karena kita tidak ingin mengulang kembali peristiwa ketika satu persatu para pejuang demokrasi dan pemilu kita gugur atau jatuh sakit.
Ketiga, rekruitmen dan regulasi terkait rekapitulasi perhitungan suara. Hasil pengalaman lapangan saya selama ini, salah satu tantangan yang besar dari persiapan pemilu adalah pada rekruitmen SDM penyelenggara adhoc Pemilu itu sendiri. Dalam konteks Kota Makassar, mempersiapkan 21.000 penyelenggara Pemilu bukan hal yang mudah. Sejumlah pembatasan terkait usia dan pendidikan penyelenggara adalah hal yang baik, namun berbagai fakta lapangan dan kondisi sosial di setiap daerah mesti tetap dipertimbangkan secara matang dalam desain pemilu kita tahun 2024. Karena terkadang kualifikasi yang diatur tidak sesuai dengan kesiapan dan kesediaan SDM di masing-masing daerah.
Begitu pula terkait regulasi rekapitulasi perhitungan suara, apalagi dalam konteks pemilu serentak yang membutuhkan 5 kertas suara. Salah satu beban berat yang saya saksikan sendiri pada pemilu 2019 yang lalu, ketika perhitungan suara di tingkat KPPS yang menyita waktu panjang mesti diselesaikan dalam hari yang sama, padahal para petugas KPPS sudah sangat kelelahan mempersiapkan pesta pemilihan pada hari-hari sebelumnya.
Belajar dari peristiwa Pemilu 2019, sudah waktunya kita kembali pada catatan renungan Mandela, “Kita harus belajar mengubah penderitaan menjadi harapan untuk masa depan”.
Tambahkan Komentar