
Kusta masih menjadi mimpi buruk bagi setiap penderitanya. Pasalnya, pemahaman yang keliru di masyarakat melanggengkan stigma dan tak jarang berujung pada praktik-praktik diskriminasi. Di sisi lain, untuk tetap bertahan hidup, tidak ada yang menyurutkan semangat dan usaha mereka, bahkan terus menyala.
Harusnya kini, Amin Rafi, seorang penyintas kusta di Makassar, berstatus pensiunan abdi negara. Tapi nasibnya dibegal di tengah jalan oleh stigma penyakit yang ia derita. Amin terus melanjutkan hidup bersama keluarga dan anak cucunya, dengan berbagai upaya dan daya juang yang luar biasa.
“Ketika itu, saya diterima menjadi pegawai di kantor gubernur sekitar tahun 1983 dan (pada tahun) 1985 saya kemudian ikut prajabatan (di Inspektorat Provinsi Sulsel). Saat itu, saya telah menerima SK 90 persen,” ungkap Amin Rafi (62).
Persyaratan untuk membuat SK tersebut menjadi seratus persen, ia harus melakukan tes kesehatan. Hasilnya, dia terdeteksi memiliki penyakit kusta. Surat hasil pemeriksaan dari dokter dijadikan dasar bahwa Amin tidak layak bekerja sebagai pegawai, sebagai abdi negara. Dia dipecat melalui SK Kementerian Dalam Negeri.
Melangsungkan hidup dan memenuhi kebutuhan keluarga, Amin memilih menjadi juru parkir. Sudah bertahun-tahun ia melakukannya. Menurutnya, tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakoni Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYMPK) seperti dirinya.
Rutinitasnya, saat memasuki petang, Amin menyudahi pekerjaannya dengan sempritan terakhir peluitnya untuk mengurai arus lalu lintas kota. Masuk waktu magrib, ia mengabdikan diri sebagai guru mengaji untuk anak-anak di Kompleks Kusta Jongaya, Makassar.
Kompleks Kusta Jongaya sudah berdiri sejak masa kolonial Belanda. Pada 1934, Kerajaan Gowa menghibahkan tanah untuk digunakan sebagai kawasan yang aman bagi penderita kusta. Saat itu, penderita kusta disisihkan karena adanya ketakutan terhadap penyebaran kusta. Penyakit kusta sangat ditakuti, bahkan dianggap sebagai kutukan maupun aib keluarga.
Bagi Amin, Kompleks Kusta Jongaya Makassar adalah surga. Masih terekam jelas di ingatan Amin bahwa tempat tersebut merupakan cikal bakal tumbuhnya asa di balik keterpurukan hidupnya. Kini, kampung itu dihuni sekitar 800 kepala keluarga (KK) dengan sekitar 400 OYPMK yang datang dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Baik penyintas kusta maupun yang sehat? kini berbaur tanpa sekat di sana.
“Saya bertemu saudara senasib dan seperjuangan di sini, kami hidup tanpa stigma. Rasa-rasanya ini seperti di surga,” ujar Amin mengenang masa ia menemukan kompleks kusta tersebut, pascadipecat dari posisinya sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
“(Bikin) streslah (situasi) saat itu. Kalau saya tidak kuat iman, mungkin saya sudah bunuh diri. Saya terus berdoa untuk dibukakan jalan dari Tuhan,” tutupnya.
Amin Rafi kini menjadi Ketua Persatuan Kusta Perjuangan Sulawesi Selatan (PKPSS), organisasi yang melawan diskriminasi terhadap penyintas kusta. Organisasi ini eksis sejak 2018. Saat itu, pelayanan kesehatan memberlakukan sistem rujukan yang menyulitkan bagi orang kusta. PKPSS melakukan berbagai upaya, bahkan bergerak hingga terjadinya demonstrasi dengan tujuan memperbaiki sistem pelayanan kesehatan dan berujung keberhasilan.
Hingga hari ini, semangat tersebut terus menyala. Belum lama ini, PKPSS melakukan advokasi, menentang pemecatan seorang pekerja di bidang pemasaran sebuah perusahaan yang terdeteksi memiliki tanda-tanda terinfeksi kusta.
“(Pekerja tersebut) diberhentikan karena ada tanda-tanda kusta, disuruh istirahat dan berobat dulu. Padahal orang dengan kusta dapat bekerja sembari menjalani pengobatan berjalan. Tidak ada masalah, tidak mengganggu apa-apa,” ujar Amin.
Amin sendiri sudah sembuh dari kusta. Ia sudah hampir empat dekade bermukim bersama enam anak dan sepuluh cucu. Keluarga besarnya tidak ada yang tertular kusta sama sekali. Seseorang yang sudah sembuh memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menularkan. Stigma kelam penyakit kusta adalah penyakit keturunan terbongkar seketika. Kendati demikian, bayang-bayang diskriminasi masa lalu akibat stigma masih selalu menghantui penderita.
Kisah serupa juga dialami Yulianti. Sejak 2011 silam didiagnosis kusta (bercak putih mati rasa) pada tubuhnya seketika merenggut mahkotanya sebagai wanita. Dia tunduk pada kondisi dan situasi.
Mimpi besar menjadi sarjana keperawatan harus ditunda. Tidak berselang lama sang kekasih meninggalkan, sulit menerima menjadi alasan utama. Bercak putih itu merusak semangat hidupnya.
“Waktu itu ada satu titik bercak mati rasa di jari kaki, ini menjadi awal mulanya. Pemberitaan kala itu juga menggambarkan kusta dengan sangat buruk seperti cacat disabilitas,” tutur Yuli, sapaan akrabnya, dengan matanya menatap langit-langit ruangan.
Selain itu, mahasiswi keperawatan itu, kerap kali mengunjungi perpustakaan kampusnya untuk memvalidasi bahwa dirinya benar-benar terpapar kusta. Pada penghujung malam, ketakutan selalu menyelimuti Yuli. Dia membayangkan tubuhnya lenyap satu-persatu, akan diasingkan orang-orang terdekat, wajahnya akan amat menakutkan, tidak menikah dan sulit bekerja. Ketakutan itu mendorong Yuli memutuskan untuk berhenti kuliah.
“Setiap malam saya menangis, meratapi masa depan saya akan seperti apa. Depresi, tidak bisa berpikir jernih, beberapa kali mau bunuh diri,” sahutnya.
Bagi Yuli, menarik diri dari lingkungan manapun adalah jalan utamanya, agar dirinya tidak menularkan. Keluarga pun menjadi curiga. Mengetahui itu, keluarganya justru tidak menjauhi, malah mendukung pemulihan Yuli.
“Respons keluarga di luar nalar, sangat bagus, keluarga menemani pengobatan, masyarakat sekitar juga lebih bisa menerima dengan meneruskan dalih penyuluh puskesmas bahwa penyakit kusta adalah ‘penyakit menular yang sangat sulit menular tergantung kekebalan imun, hari ini jarang ada kusta yang hingga cacat jika cepat berobat,” ujar Yuli.
Pemahaman inklusif di lingkungan Yuli menjadi angin segar. Penerimaan itu membangkitkan kembali semangat orang dengan kusta yang habis dimakan oleh stigma masa lalu. Dia meyakini ketakutan terhadap kusta adalah fase yang sudah usai, sudah saatnya mengenali penyakit kusta serta mengetahui bagaimana penanganan kusta, agar dapat hidup berdampingan, baginya itulah kemerdekaan.
Stigma yang Tak Kunjung Usai

Orang yang pernah mengalami kusta lainnya, Al-Qadri (51) harus menelan pil pahit dengan mengangkat kaki dari sekolahnya akibat ada benjolan di tubuh kecilnya pada awal 1980, di Wajo. Kepala sekolahnya menyampaikan kepada orangtuanya agar Qadri dapat dirumahkan. Mimpi Qadri mengenyam pendidikan sirna saat itu juga.
Sebelas tahun kemudian, Qadri semakin menunjukkan reaksi kerusakan di tubuhnya. Ia menempuh berbagai cara untuk berobat, mulai ke dokter hingga dukun. Namun, nampaknya tidak mampu membuat perubahan yang bermakna. Melihat kondisi yang terus memburuk, muncul upaya keluarga untuk mengisolasi Qadri dengan membuatkan rumah kecil di kebun.
“Keluarga yang mengusulkan (pembuatan rumah pengasingan di kebun). Namun ada ibu saya yang gigih mempertahankan dan merawat saya hingga datang seorang yang pernah mengalami kusta juga. Beliau menjenguk lalu menawarkan untuk saya bisa dirawat di rumahnya di kompleks kusta Wajo,” ingat Qadri dengan mata berkaca-kaca.
Qadri melakukan pengobatan selama enam bulan lamanya lalu dirujuk ke rumah sakit kusta di Makassar untuk direhabilitasi. Setelah mendapat perawatan yang intens dengan total tiga belas kali operasi, jari-jarinya dapat berfungsi kembali. Perjalanan panjang Qadri menemukan rumah yang sesungguhnya, Jongaya Makassar.
“(Tentu) tidak untuk kembali ke kampung, sudah tau mana timur mana barat, ketika ada satu keluarga yang kusta maka tidak ada yang mau melamar kalangan keluarga tersebut,” tambahnya.
Stigma yang berkembang kala itu di lingkungan masyarakat tempat keluarga Qadri tinggal, kusta menjadi aib yang mesti ditutup dengan rapat. Jika tidak, keluarga akan menanggung beban malu. Mengetahui hal tersebut meyakinkan keinginan kuat Qadri untuk tidak kembali ke kampung halaman.
“Saya akan tetap di sini (Jongaya), saya menemukan rumah yang sesungguhnya,” ujar Qadri.
Qadri sudah di Jongaya selama 30 tahun. Sejak 1994, dia mulai memupuk mimpinya dengan menjadi buruh dan tukang parkir. Butuh waktu empat belas tahun untuk Qadri berdiri dari cengkraman diskriminasi masa lalu. Persatuan Mandiri Kusta (Permata) menjadi motor pergerakan baginya dalam melakukan edukasi kepada masyarakat dan pendampingan bagi para penderita kusta.
“Saya selalu berdoa dan berharap tidak akan ada lagi yang menderita seperti penderitaan yang saya alami. Semoga hanya saya yang merasakan penderitaan yang luar biasa. Saya bergabung dalam organisasi untuk membersamai teman-teman dalam ikhtiar besar, berjuang menyadarkan masyarakat agar tidak ada lagi yang namanya stigma dan diskriminasi,” harap Qadri.
Permata pernah melakukan kajian kecial terhadap tingkat penerimaan masyarakat terhadap kusta di Makassar. Ketertarikan untuk penelitian tersebut terjadi karena terdapat perubahan yang signifikan sekitar tahun 2010-2020.
Sebelumnya, angkutan umum enggan untuk memasuki kompleks kusta. Selepas itu, masyarakat justru banyak yang keluar-masuk, berdagang, hingga mengontrak rumah di kompleks kusta.
“Kami menanyakan dalam kuesioner, sebaiknya orang kusta tinggal di mana? (Apakah) di komunitas khusus, di tempat lahirnya, di lokalisasi, atau di masyarakat pada umumnya. (Hampir) Seratus persen menjawab lebih baik di lokalisasi. Ini kenyataan (bahwa) tak satupun masyarakat menerima kami. Kusta tidak membuat kami sakit, tapi yang paling menyakitkan ada pada stigma dan praktik diskriminasi yang tiada habisnya,” pungkas Qadri.
Merdeka Berdaya dan Mandiri

Jongaya kala itu mendung, sajian secangkir teh sudah tak hangat lagi, wajah cemas menghiasi raut Rahma, salah satu istri penyintas kusta ketika menunggu kepulangan pujaan hatinya.
“Tidak seperti biasanya, bapak sudah dirumah menjelang sore,” cemas Rahma.
Suaminya, Kamaruddin, bekerja sebagai pengemis jalanan semenjak kusta menyerangnya. Sebelumnya dia seorang pekerja kontraktor di beberapa kota besar di Indonesia. Rahma menyebut suaminya menghidupi satu isteri dan empat cucu.
“Kami selalu berharap selalu ada rezeki yang cukup untuk keluarga kecil kami, bapak selalu keluar menarik (mengemis) walaupun ada himbauan dilarang keluar,” ujar Rahma.
“Jika ada tamu negara atau pejabat datang, ada himbauan untuk dilarang keluar, namun bapak selalu keluar, saya cemas kalau ada razia saja takutnya diapa-apakan, cuma disisi lain jika dilarang keluar misal tiga hari, berarti kami sekeluarga tidak makan tiga hari juga,” tambahnya.
Rahma menganggap kehidupan yang layak terhadap penyintas kusta masih menjadi mimpi yang menggantung. Masalah klasik yang enggan menemui titik temunya, kota yang katanya kota dunia ternyata masih bermain petak umpet terhadap sesuatu yang mesti menjadi perhatian khusus.
Suara riang anak-anak terdengar jelas, dentuman pengeras suara bertabrakan satu dengan lainnya, lebih jauh masuk ke dalam, mengantarkan ke meja kayu tua yang menjadi tempat bersandar sebuah laptop. Di sana, Mursalim (52) menghabiskan harinya-harinya sebagai operator atau penjaga warung internet (warnet).
“Begini keadaan di sini, ramai dan berantakan,” sapanya.
Sehari-hari, Mursalim menjalani usaha yang belum lama dirintisnya ini. Sebelumnya, ia adalah tukang parkir. Ia menjadi salah satu orang yang turut mendirikan PKPSS bersama Amin Rafi.
“Ketika di organisasi, saya, sebagai admin, keterampilan dasar yang diharuskan adalah mengetahui cara mengoperasikan komputer. Dari segala keterbatasan, saya belajar secara mandiri di Youtube. Ketertarikan ini mengakar, mengantarkan saya purna sebagai tukang parkir dan mantap mendirikan usaha kecil ini,” ujar Mursalim.
Mursalim, selaku wakil ketua PKPSS, menyebut tidak sedikit penyintas kusta yang masih menggantungkan kehidupannya di jalan dengan mengemis untuk memenuhi tuntutan hidup.
“Masih banyak, tapi sebenarnya tidak ada yang mau seperti itu. Hanya saja tidak ada jalan lain untuk mereka, apalagi yang sudah tingkat disabilitas fisik: kelumpuhan tangan dan kaki. Di sisi lain, bukan sekedar menyambung kehidupan, tapi ada tanggung jawab yang wajib dipenuhi,” ujar Mursalim.
“Sementara, bantuan sosial (Bansos) dari pemerintah maupun program pemberdayaan belum mampu menjadi solusi dan menjamin kehidupan layak bagi mereka,” terang Mursalim.
Bagi Mursalim, program pemberdayaan sudah sangat banyak, datang silih berganti. Namun belum mencapai hasil yang efektif karena terkesan pelaksanaannya formalitas semata. Kendati begitu, menurutnya, penting untuk terus ada dan penting untuk terus dievaluasi.
“Bukan hanya pemerintah, lembaga non-pemerintah juga banyak yang melakukan kelas pemberdayaan di sini, seperti menjahit. Namun sayang sekali yang niat awalnya untuk jangka panjang malah kandas di tengah jalan akibat belum mandiri lalu di lepas. Makanya pasca pelatihan, tidak sedikit yang langsung menjual mesin jahitnya,” jelas Mursalim.
“Efektifnya, seharusnya, hal seperti ini butuh pengawalan yang berkelanjutan,” sambungnya.

Melalui organisasi, Mursalim juga mendorong penguatan kebijakan untuk memenuhi hak-hak penyintas kusta, khususnya dalam mengakses pekerjaan yang layak agar bisa berdaya dan mandiri.
PKPSS telah bekerjasama dengan Dinas Pendidikan untuk pengentasan buta huruf OYPMK. Sementara, di Balai Latihan Kerja (BLK), terjadi kesepakatan untuk setiap program pemberdayaan keterampilan terdapat kuota khusus bagi OYPMK.
“Sudah terlalu sakit ketika mendengar kabar ada anak-anak kami yang diistirahatkan (dipecat) akibat pernah mengalami kusta. Kami mencoba untuk memenuhi segala standar yang diterapkan instansi maupun perusahaan, mulai dari keterampilan maupun ijazah, sekalipun pekerjaannya sebagai petugas kebersihan. Harapannya, tidak ada lagi alasan untuk tidak menerima kami,” tutup Mursalim.
Jika masih ada ketakutan terhadap orang yang pernah mengalami kusta hari ini, di mana informasi sudah lebih terbuka, maka itu adalah ciri-ciri insan yang belum merdeka, sebab masih bersemayam stigma kelam yang tak pernah usai di benaknya .
Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.
Editor: Ramdha Mawaddha
Penulis: Muh. Amin
Tambahkan Komentar