Readtimes.id- Perikanan atau Perikiri? adalah buku terbitan Subaltern dengan 144 halaman. Kumpulan tulisan catatan dari lapangan, budidaya tambak di Sulawesi Selatan. Idham Malik menulis secara acak pada 17 tulisan dalam kumpulan esai, secara ilmiah dan tertata. Terdapat ulasan struktur sosial, rekomendasi redistribusi lahan, reforma agraria dan revolusi hijau. Ini sangat diperlukan pada program pengembangan tambak kedepan.
Tulisan dalam buku ini ibaratnya reflektif. Bentuknya lebih kepada gagasan utama dan pendukung data lebih ke contoh kasus. Proses pembuatan buku perikanan atau perikiri selama dua tahun, mulai dari menulis dan mengedit hingga melakukan launching dan bedah buku di Kafe Kopi Ide Makassar. Menghadirkan Rahmawati selaku moderator, dan pembedah buku yakni Awi MN (Aktivis sosial), Subhan Usman (Penggiat LSM Kelautan), dan Asratillah Senge (Pengurus Komunitas Hijau Muhammadiyah) dan turut hadir peserta diskusi sekitar 35 orang, Sabtu 27 Maret 2021.
Penulis buku Perikanan atau Perikiri?, Idham Malik mengatakan, saya mencoba menginspirasi ide dalam perikanan. Selama bertahun-tahun bekerja dilapangan dan setelah melihat perbandingan. Mengamati perkembangan serta melihat perspektif kejadian sepertinya ada yang terlupakan dan diabaikan dalam dunia tambak. Pelatihan, pembentukan kelompok, akses terhadap pemerintah, pasar belum menyentuh persoalan dasar dari petambak. Bahwa ada persoalan lain, seperti pengalaman dalam mengamati petambak di Suppa, Bone, Pangkep, Sinjai dan Bulukumba.
Ternyata ada kemiripan bahwa produktivitas tambak sangat dipengaruhi oleh kebebasan dalam pengambilan keputusan. Kebebasan dalam pengambilan keputusan itu sangat dipengaruhi oleh kepemilikan lahan. Jadi rata-rata produktivitas bisa muncul ketika petambak itu bebas bergerak. Asas dasar adalah kebebasan. Tapi dibawah kebebasan adalah kepemilikan atau kedaulatan dalam pengelolaan lahan.
“Ketika saya kembali dari kegiatan perikanan yang merupakan program pekerjaan saya. Duduk di Warkop sambil bercerita dan berpikir. Semacam pelarian kerja laporan yang cukup melelahkan pikiran. Apa yang kita kerja tidak ada ujungnya. Program yang kita upayakan, dan banyak kegiatan dengan pendekatannya bikin terlalu perikanan tidak menyasar persoalan dasar di masyarakat tambang. Perlu ada pembanding, semacam dialektika atau diskursus supaya ditemukan gagasan atau solusi yang lebih bagus,” paparnya dalam launching dan bedah buku tersebut.
Terdapat perspektif dan pendekatan, kebudayaan dan pertambakan itu berawal dari petambak tradisional. Kemudian mengalami revolusi perubahan besar. Perspektif kritis yang dituangkan dalam buku, agar para penambak memiliki kesadaran baru, bukan yang diwariskan secara turun temurun. Selalu bermuara pada profit ekonomi, kesejahteraan. Buat apa ada produktivitas kalau tidak terimplementasi pada kesejahteraan jangka panjang. Keberlanjutan dan ekonomis, buat apa produktif kalau misalnya merusak sawah, muara sungai dan sebagainya, mengeliminasi hubungan antara pemilik dan bukan pemilik tambak. Adanya monopoli tambak.
Program pendampingan selalu terhambat. Sehingga salah satu strategi adalah bagaimana pemerintah memberikan bantuan secara total untuk mengangkat pembudidayaan naik sedikit diatas skala subsistensi. Selama ini bantuan setengah-setengah saja. Bantuan hanya didapatkan bagi yang dekat dengan penyuluh, anggota DPR, kepala Dinas dan ini rata-rata punggawa. Sehingga punggawa itu ibaratnya seperti piramida.
Hanya sebagian kecil saja komunitas di masyarakat yang kelihatan. Namun, yang tidak terlihat sangat banyak. Adanya ketimpangan penghasilan antara si pemilik lahan 90 persen dan pekerja tambak dapat 10 persen. Ketika penghasilan tidak bagus dan ketika musim panen akan meminjam lagi. Perlu ada pendampingan program sebaiknya menyasar orang atau petambak kalangan bawah. Maka perlu pendataan ekonomi yang jelas bahwa orang yang dibantu adalah dibawah subsistensi. Program dna bantuan terkait pertambakan baik dari pemerintah maupun non pemerintah bertujuan dalam pemberdayaan petambak. Serta kesejahteraan petambak perlu diperhatikan dalam hal upah yang layak.
Tambahkan Komentar