Readtimes.id– Pemutusan Hak Kerja (PHK) terus membayangi para pekerja di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Pembatasan pusat perbelanjaan, rumah makan, restoran dan beberapa sektor usaha lainnya memaksa pelaku usaha memutar otak agar tetap menghasilkan cuan di tengah masa sulit ini.
Pusat perbelanjaan diimbau untuk tutup, pemasukan menurun namun tetap terbebani berbagai pungutan dan pajak atau retribusi. Tagihan tersebut berupa pembayaran listrik, meskipun minim atau tidak ada pemakaian sama sekali.
selain itu, pemerintah mengharuskan pembayaran penuh pajak reklame meski pemerintah yang meminta sektor usaha ini tutup dan masih ada tanggungan biaya lainnya seperti royalti, retribusi perijinan, biaya sewa tempat, gaji karyawan, dan lain sebagainya.
Bisnis restoran misalnya, tidak bisa bergantung hanya dari layanan pesan antar dan take away. Terlebih, pengusaha restoran harus bersaing dengan banyaknya usaha rumahan yang menjual makanan dan minuman secara online.
Melihat kondisi ini, para karyawan kembali mengingat peristiwa PHK besar-besaran yang terjadi di awal pandemi setahun lalu. Ketakutan itu kembali muncul di tengah optimisme pemulihan ekonomi tahun 2021.
Sebenarnya PHK adalah solusi akhir ketika sektor usaha berada pada posisi besar pasak dari tiang. Yaitu tingginya biaya operasional yang dikeluarkan, sementara pendapatan terus menurun.
sejalan dengan hal tersebut, dosen Manajemen Fakultas Ekonomi Univeritas Negeri Semarang, Desti Ranihusna,SE,MM kepada readtimes.id menerangkan bahwa PHK adalah jalan keluar terakhir yang bisa dilakukan para pengusaha saat kondisi usahanya sudah benar-benar kritis.
“PHK sebenarnya adalah alternatif paling akhir, melihat tingkat produksi semakin menurun akhirnya omzet juga menurun. Sebelum PHK, para pemilik usaha bisa melakukan pengurangan gaji atau pemotongan gaji selama usaha belum bisa beroperasi secara penuh, tetapi ketika omzet terus menurun akhirnya PHK jadi pilihan,” ungkapnya.
Kekhawatiran ini agaknya bisa dibendung dengan memastikan daya beli masyarakat tetap terjaga. Sebab, meski restoran masih boleh dibuka dan aktivitas produksi industri kritis diizinkan work from office seratus persen, mereka tetap tidak bisa bertahan jika tidak ada permintaan.
Sejumlah industri pun masih bisa mengandalkan ekspor ketika pasar domestik lesu. Namun, permintaan masih terbatas hanya pada komoditas tertentu, seperti batu bara dan kelapa sawit yang harganya sedang moncer.
Peran anggaran pemerintah pun bisa menjadi andalan. Pemerintah perlu mengintensifkan bansos dan stimulus terlebih untuk sektor-sektor paling terdampak, seperti pariwisata, transportasi, ritel dan lain-lain.
“Tetapi juga pemerintah harus lebih selektif dalam memberi bantuan jangan asal tembak saja, seperti sebelumnya banyak bantuan yang tersalurkan tidak tepat sasaran,” tutupnya.
1 Komentar