RT - readtimes.id

Polemik Industri Fesyen di Tengah Isu Kerusakan Lingkungan

Readtimes.id– Industri fesyen adalah salah satu penyumbang besar perekonomian negara. Namun, di balik pesat dan glamornya perkembangan industri fesyen terdapat bahaya yang mengancam keselamatan bumi. Rupanya industri mode ini penyumbang polusi terbesar di dunia.

Mengutip Penelitian dari Ellen MacArthur Foundation, industri fesyen menghasilkan emisi gas yang lebih merusak iklim dibandingkan industri pelayaran dan penerbangan jika digabungkan menjadi satu. Produksi busana meningkat dua kali lipat sejak tahun 2000 dan rata-rata konsumen membeli pakaian meningkat 60% tiap tahunnya.

Jumlah limbah dari aktivitas pembuatan baju, celana, hingga sepatu di seluruh dunia semakin meningkat, seiring dengan makin banyaknya juga air bersih terbuang demi mengikuti tren fesyen. Busana-busana itu sebagian besar tidak disimpan lama di lemari, beda dari perilaku konsumen 15 tahun lalu.

Tim riset dari Madani Berkelanjutan, Izhar, memprediksi ketinggian sampah fesyen tahun 2030 akan melebihi gedung 75 lantai. Industri fesyen bahkan memakan 35 persen lahan dunia untuk memproduksi serat pakaian.

Untuk menekan kemungkinan tersebut, Izhar mengatakan pentingnya menggunakan pakaian berulang dalam jangka waktu lama.

“Menggunakan pakaian selama sembilan bulan atau lebih bisa membantu menurunkan emisi karbon, air dan sampah tekstil sebesar 20-30 persen,” jelasnya.

Selain itu solusi lain yang muncul dan sudah sejak lama dilakukan di banyak negara adalah dengan mendaur ulang sampah fesyen agar dapat digunakan kembali.

China sempat menjadi negara yang paling banyak menampung daur ulang produk pakaian bekas
dari seluruh dunia untuk diubah lagi menjadi benang. China juga merupakan negara produsen 50 persen produk tekstil dunia. Dengan tingginya jumlah produsen itu akhirnya juga harus menghadapi persoalan polusi massif dari industri fesyen, sehingga upaya daur ulang juga sangat tinggi.

Sayangnya pemerintah China, atas motif proteksi perdagangan, pada tahun 2018 menetapkan larangan impor 24 bahan baku industri, termasuk baju bekas untuk daur ulang benang. Kondisi itu akan berpengaruh pada tingkat polusi dunia.
Daur ulang baju bekas juga dianggap bukan solusi jitu.

“Pakaian manusia di masa sekarang lebih banyak yang berasal dari material sintetis, bukan benang, jadinya lebih murah dan mudah memproduksi baju baru daripada mendaur ulang benangnya dari baju bekas,” jelas Izhar.

Kemunculan Fast Fashion

Kondisi pun makin diperparah dengan munculnya fast fashion, sebuah istilah modern untuk pakaian murah dan trendi yang mengambil ide mode dari peragaan busana terkenal atau gaya dari para selebriti. Konsep bisnis industri fesyen yang memproduksi pakaian dengan jumlah banyak dan cepat demi memenuhi permintaan pasar.

Kemunculan fast fashion mendukung gaya hidup konsumtif karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan pakaian dari desainer. Fokus dari fast fashion adalah bagaimana menghasilkan barang dengan biaya serendah mungkin, namun mampu menanggapi permintaan konsumen yang berubah dengan cepat; dengan asumsi bahwa konsumen menginginkan pakaian dengan mode terbaru dengan harga terjangkau.

Banyak perusahaan fast fashion yang tidak diketahui bagaimana mekanisme pengelolaan limbah pakaian mereka. Jumlah besar dari produksi busana yang dihasilkan bisnis fast fashion menjadikan bisnis tersebut sebagai penyumbang limbah terbesar.

Fast fashion banyak menggunakan pewarna tekstil dengan bahan kimia beracun dan tidak ramah lingkungan. Pencelupan tekstil adalah pencemar air bersih terbesar kedua secara global setelah pertanian.

Selain itu, industri fast fashion banyak menggunakan Polyester, yaitu kain yang ketika dicuci dengan mesin cuci rumahan akan melepaskan mikrofiber yang menambah jumlah limbah plastik di laut. Mikrofiber ini tidak dapat terurai secara alami dan menjadi ancaman serius bagi kehidupan organisme air.

Makhluk kecil seperti plankton memakan mikrofiber, yang kemudian dimakan oleh ikan dan kerang, yang dalam rantai makanan berikutnya dimakan oleh manusia.

Bahaya lain yang juga mengancam keselamatan lingkungan adalah fast fesyen dengan harganya yang murah dan tren yang terus dan cepat berubah, akhirnya konsumen tidak merasa sayang untuk membuang pakaian mereka dan membeli pakaian baru yang lebih modis. Kain yang telah dibuang dan membusuk akan melepaskan gas metana ke udara, yang tentunya berkontribusi besar terhadap pemanasan global.

Para pemerhati lingkungan dan fesyen pun berusaha menciptakan antitesis dari industri fast fashion, yaitu slow fashion. Kalau fast fashion mementingkan kuantitas dan produksi yang cepat, slow fashion lebih menekankan kualitas produk dan pemakaian yang lebih lama. Esensi dari slow fashion adalah produksi pakaian yang etis dan ramah lingkungan.

Slow fashion pertama kali diperkenalkan oleh Kate Fletcher, seorang profesor di bidang Sustainability, Design, and Fashion, University of the Arts London’s Centre for Sustainable Fashion.

Amanda Zahra dari Zero Waste Indonesia menjelaskan slow fashion memiliki jadwal produksi yang lebih longgar, tidak tergantung tren, koleksinya cenderung sedikit, mengusahakan untuk mengimplementasikan memakai desain nol sampah (zero waste cutting), serta berusaha meminimalisasi limbah tekstil yang dibuang ke tempat pembuangan akhir.

“Brandnya juga lebih memilih membuat pakaian yang tahan lama dan kualitas tinggi, modelnya juga klasik jadi konsumen bisa pakai lama tanpa harus takut ketinggalan zaman. Modelnya dikeluarkan terbatas dan spesifik, serta tidak lebih dari 3x per tahun,” jelasnya.

Jika pada akhirnya harus membeli baju baru, Amanda menyarankan untuk mencari brand fesyen yang sudah mulai menerapkan fesyen berkelanjutan dan slow fashion. Memang, mungkin harga yang ditawarkan relatif lebih tinggi, namun dalam jangka waktu panjang dapat menyelamatkan lingkungan dari kerusakan

“Cara tahu brand slow fashion itu lihat profil dan latar terbentuknya, transparansi proses produksi mereka dan pendapatan mereka akan dialokasikan kemana saja. Transparansi dari proses sebelum sampai ke tangan konsumen, nilai yang dianut, serta kontribusinya untuk mensejahterakan sesama adalah kunci dari brand slow fashion,” tutupnya.

Editor: Ramdha M

I Luh Devi Sania

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: