oleh : Andi Maddukkelleng S. IP., M. Si
Prinsip kepastian hukum serta integritas proses dan hasil pemilu, merupakan syarat utama dari proses penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Salah satu bentuk kepastian hukum pemilu di Indonesia terakomodir dalam undang-undang nomor 17 tahun 2017 tentang pemilihan umum (UU Pemilu)
Prinsip penyelenggaraan pemilu salah satunya adalah berkepastian hukum.
Prinsip ini erat hubungannya dengan salah satu dari tujuan suatu hukum itu dibuat. Tujuan hukum ada 3 (tiga), yaitu: kepastian, keadilan dan kemanfaatan, yang merupakan satu rangkaian yang saling berhubungan satu sama lain. Kepastian hukum merupakan manifestasi dari kewajiban imperative para penyelenggara pemilu dalam melaksanakan ketentuan yang ada dalam perundang-undangan. Undang-Undang No. 7 tahun 2017 yang menjadi pedoman utama regulasi dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 ternyata masih menyisakan banyak persoalan dalam implementasi di lapangan terkait ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Seperti beban berlebih bagi KPPS, Akurasi data pemilih, hingga sengkarut distribusi logistic.
A. Aturan yang Memberikan Beban Berlebihan Kepada Kelompok Tertentu (KPPS)
Dalam undang-Undang No.7 tahun 2017, terdapat pasal-pasal yang membuat beban penyelenggara Pemilu khususnya KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) menjadi lebih berat dibanding pemilihan-pemilihan sebelumnya. Misalnya pada pasal 59 dan 60 berikut:
1) Pasal 59 ayat (1): Anggota KPPS sebanyak 7 (tujuh) orang berasal dari anggota masyarakat di sekitar TPS yang mempengaruhi syarat berdasarkan Undang-Undang ini.
2) Pasal 60 KPPS bertugas: mengumumkan daftar pemilih tetap di TPS; menyerahkan daftar pemilih tetap kepada saksi peserta pemilu yang hadir dan pengawas TPS dan dalam hal peserta pemilu tidak memiliki saksi, daftar pemilih tetap di serahkan kepada peserta pemilu; melaksanakan pemungutan dan perhitungan suara di TPS; membuat berita acara pemungutan dan perhitungan suara serta membuat sertifikat perhitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta pemilu, pengawas TPS, dan PPK melalui PPS; melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, dan PPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan; menyampaikan surat undangan atau pemberitahuan kepada pemilih sesuai dengan daftar pemilih tetap untuk peraturan perundang-undangan.
Pertanyaanya, apakah 7 orang petugas cukup untuk melaksanakan seluruh tugas di pasal 60 untuk pemilu 5 kotak: Pilpres, Pileg DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota. Akibat dari beban kerja yang sangat berat tersebut, terjadi kelelahan yang luar biasa pada penyelenggara khususnya di tingkat KPPS. Dan seperti diketahui bersama, Pemilu 2019 meninggalkan noda hitam pesta demokrasi dengan catatan 722 penyelenggara yang meninggal dan 798 orang yang sakit.
B. Akurasi Data Pemilih
Persoalan akurasi data pemilih gejalanya sebenarnya sudah muncul sejak KPU memutakhirkan data daftar pemilih. Setidaknya permasalahan DPT yang mengemuka diantaranya e-KTP Warga Negara Asing (WNA) sebanyak 370 WNA yang diduga masuk dala DPT, potensi munculnya pemilih ganda karena sekitar 5000-an anak-anak muda yang pada 17 april 2019 genap berusia 17 tahun tidak masuk DPT, dan lain sebagainya.
Pada akhir masa penentuan data pemilih terakhir (DPT) di tingkat pusat seharusnya berlansung pada 10 september 2018. Akan tetapi, KPU menuntaskan lebih awal lima hari dari agenda. Setelahnya, pemutakhiran data itu justru menjadi berlarut-larut. Pada 8 april 2019 atau Sembilan hari sebelum pencoblosan, KPU RI baru beres menentukan daftar pemilih tetap hasil perbaikan tahap3 (DPThp 3). Artinya, tidak tepat waktu 21 hari dari jadwal yang ditetapkan KPU. Problem utamanya adalah pemerintah kesulitan mengurutkan data pemilih secara komprehensif. Data pemilih dengan kementrian dalam negeri (Mendagri) sempat tidak sama. Ada temuan pemilih tidak memenuhi syarat berupa ganda, meninggal, hingga pindah domisili. Selain itu, berdasarkan temuan bawaslu, sistem informasi data pemilih milik KPU sering error sehingga mangganggu proses unggah dan unduh foto.
Tahapan penetapan daftar pemilih tetap (DPT) yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan tahapan yang harus dilakukan untuk memastikan kebutuhan logistik pemilu, mulai dari surat suara, bilik suara dan seluruh kelengkapan yang diperlukan dalam pemilu. Penetapan DPT merupakan suatu keniscayaan, KPU untuk memastikan hak pilih warga terlindungi melakukan tahapan proses vertifikasi hingga penetapan secara berjenjang ditingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Bahan dasar DPT bersumber dari pemerintah melalui disdukcail, validitas data awal setidaknya akan mepermudah proses vertifikasi dan validasi data pemilih, tapi kalau data yang bersumber dari pemerintah ini banyak masalah, misalnya Nomor Induk Kependudukan (NIK) nya bermasalah, itu akan menyulitkan proses vertifikasi dan validasi data pemilih.
Pada sejumlah kasus pemilihan, data pemilih menjadi pangkal masalah yang menyebabkan hak-hak dasar warga negara untuk ikut terlibat dalam pemilu terabaikan. Disdukcapil yang memiliki otoritas untuk melakukan pendataan terhadap kewarganegaraan didorong untuk memastikan bahwa warga negara yang telah berumur 17 tahun dan atau sudah pernah menikah harus diberi ruang untuk melakukan perekaman KTP elektronik. Pembaruan dan pemutakhiran data pemilih tidak selalu mencerminkan realitas yang terjadi, misalnya ada warga negara yang telah meninggal dunia dan atau telah berpindah domisili, masih dimasukkan dalam daftar pemilih. Sementara pada sisi lain, masih terdapat sejumlah warga yang belum terdata dalam proses ini sehingga terabaikan hak-hak konstitusional.
Kisruh selanjutnya terjadi di daftar pemilih tambahan (DPTB). Menurut undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pencetakan surat suara harus mengikuti jumlah daftar pemilih tetap ditambah 2 persen. “Masalahnya, pencetakan surat suara itu hanya diperuntukkan bagi DPT. Sementara batas pemilih di TPS maksimal 300 pemilih yang artinya bila ditambahkan 2% maka hanya bertambah 6 surat suara. Sementara untuk jumlah penambahan surat suara DPTB tidak ada aturan yang melegitimasinya. Fakta di lapangan, di beberapa titik jumlah pemilih DPTB begitu masif. Disinilah mis komunikasi yang terjadi antara KPU, PPK, PPS, KPPS. Sehingga masyarakat yang masuk dalam DPTB menjadi korban dan sangat kecewa karena tidak dapat memberikan hak pilihnya. Padahal mereka yang masuk DPTB telah sesuai dalam 9 hingga sisa 4 kategori yang Mahkamah Konstitusi telah putuskan. Salah satu kasus terjadi di Kota Makassar Kec. Manggala TPS 74 terdapat puluhan mahasiswa salah satu kampus di Kecamatan Manggala yang gagal menunaikan hak pilihnya karena surat suara telah habis.
Ada kekosongan hukum yang mengatur masalah surat bagi pemilih yang masuk dalam kategori daftar pemilih tambahan (DPTb). Hal tersebut disebabkan UU Pemilu No.7 tahun 2017 hanya mengatur surat suara yang berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) ditambah 2% surat suara cadangan. UU Pemilu tidak mengatur surat suara bagi pemilih DPTb.
C. Sengkarut Distribusi Logistik
Jenis perlengkapan pemungutan suara yang dimaksudkan meliputi kotak suara, surat suara, tinta, bilik pemungutan suara, segel, alat untuk mencoblos pilihan, dan tempat pemungutan suara (TPS). Adapun dukungan perlengkapan lainnya meliputi sampul kertas, tanda pengenal, karet pegikat suara, lem/perekat, ballpoint, gembok, spidol, formulir, tali pengikat, alat bantu tunanetra, daftar pasangan calon dan daftar calon tetap, serta salinan DPT. Namun dilapangan ternyata perlengkapan pemungutan suara dan dukungan perlengkapan lain masih kurang dan rusak. Di jawa barat, misalnya, bawaslu mecatat jumlah total kekurangan dan kerusakan di 27 kabupaten/kota sebanyak 9.371 kotak suara, 58.249 bilik suara, 883 tinta, dan 152.133 segel. Ini belum termasuk perlengkapan dukungan lainnya. Hal tersebut salah satu potret bahwa di provinsi lain juga tidak tertutup kemungkinan terjadi hal yang sama.
Segkarut logistic dialami pada pelaksanaan pemilu seretak 2019. Menurut penjelasan komisioner KPU, Pramono Ubaid Tannthowi, bahwa pengiriman logistic pemilu berupa kotak dan bilik suara diprioritaskan ke daerah dengan kondisi geografis yang sulit, seperti papua dan papua barat. Namun, usaha tersebut dinilai gagal, sebut saja misalnya, gubernur provinsi papua, Lukas Enembe, tidak bisa menyalurkan hak pilihnya pada hari pencoblosan. Hingga pukul 11.00 waktu setempat, 17 april 2019 lalu, logistic pemilu belum tiba ke TPS 43 Jayapura tempat dimana gubernur papua mencoblos. Di Monokwari Selatan, berdasarkan data bawaslu, pemungutan suara baru bisa digelar lima hari setelahnya, 23 april 2019. Menurut data Bawaslu, terdapat 805 TPS di Provinsi Papua yang melakukan pemungutan suara lanjutan.
Secara nasional, ada 10.520 TPS yang kekurangan logistic pemilu. Di 6.474 TPS, kotak suara yang diterima KPPS tidak tersegel. Di kuningan, Jawa Barat misalnya ratusan segel kotak suara rusak. Selain itu, distribusi logistic tanpa pengawalan. Salah satunya terjadi di Jawa Tengah karena Bawaslu juga bingung atas jadwal pengiriman logistic yang tidak jelas.
Khusus di Kota Makassar, kekurangan pengiriman logistic juga terjadi, Gudang tempat penampungan logistic yang disediakan di kecamatan tidak cukup menampung logistic, proses distribusi logistic membutuhkan waktu yang lebih lama karena jumlah logistic yang besar, serta keterlambatan pemenuhan logistic berupa C1 Plano dan formular lainnya.
Akibat banyaknya persoalan terhadap distribusi logistic, maka muncul desakan dari sejumlah pihak untuk megeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai ketersediaan logistic. Menurut aturan pendistribusian distribusi surat suara yang pengadaannya oleh KPU, basis penambahan 2 persen surat suara adalah kebutuhan perdaerah pemilihan, bukan per tempat pemungutan suara. Padahal jelas, menurut pasal 350 ayat (3) UU Pemilu, jumlah surat suara di setiap TPS sama dengan pemilih yang tercantum di dalam DPT dan daftar pemilih tambahan di tambah dengan 2 persen dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan. Hal ini sangat mengkhawatirkan, terlebih untuk pemilih pindahan dan daftar pemilih khusus (DPK) yang jumlahnya cukup membludak, sehingga di beberapa kabupaten/kota tidak sedikit yang menambah jumlah TPS. Misalnya saja, ketika pemilih di satu TPS sudah penuh untuk 300 orang, penambahan suara 2 persen itu hanya enam surat suara. Penambahan tersebut juga dipakai untuk mengganti surat suara yang rusak. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya kekurangan surat suara di banyak TPS.
Pada akhirnya persoalan regulasi yang tidak dijabarkan detail hingga ke tahap implementasi bisa membuat pelaksanaan Pemilu menjadi tidak demokratis. Di sinilah titik tekan mengapa prinsip berkepastian hukum menjadi wajib dilaksanakan dan dipastikan tidak tumpeng tindih atau saling menegasikan. Karena Pemilu yang demokratis adalah pemilu yang berintegritas bukan hanya di hasilnya tapi yang lebih penting pada proses pelaksanaannya.
Andi Maddukelleng, S. IP. M. Si ( PPK Lalabata Divisi Hukum dan Pengawasan)
35 Komentar