Judul : Negeri Fast Food
Penulis : Eric Schlosser
Penerbit : Insist Press
Tahun Terbit : Mei 2004
Tebal : 392 hlm
Saya mengulas buku lawas ini dipicu oleh ramainya pembahasan tentang beredarnya secara luas produk BTS Meal sebulan terakhir ini. McDonalds sang produsen meal tersebut sukses menjadikan paket ini diserbu pembeli, khususnya para ARMY—sebutan sohor para penggemar BTS, group boyband asal Korea Selatan. Namun, tak saya temukan orang menyinggung sejarah McDonalds yang penuh skandal dan fenomenal tersebut.
Sejatinya, buku Negeri Fast Food yang ditulis Eric Schlosser ini bukan hanya mengudar sejarah perjalanan McDonalds, namun seluruh perusahaan makanan cepat saji di Amerika, mulai dari kisah Carl N. Karcher, salah seorang pionir Fast Food di negeri Paman Sam tersebut, hingga beberapa tokoh lainnya yang sebagian besar adalah veteran perang. Richard dan Maurice (kadang disebut McDonalds Bersaudara), pendiri McDonalds, adalah tokoh yang paling banyak porsi pembahasannya.
Buku yang perjalanan risetnya sampai dua tahun ini penuh sesak dengan data yang mengejutkan perihal sejarah ekonomi politik hingga budaya Amerika, serta kisah terperinci perusahaan makanan cepat saji mencari daerah ‘’koloni’ baru ke Eropa, Timur Tengah, hingga Asia. Kisah yang berisi skandal dan fenomenal tersebut ditulis dengan narasi sastrawi, sehingga asyik untuk diikuti.
Saya mengusulkan kepada penerbit buku ini dalam bahasa Indonesia untuk menerbitkan kembali, untuk mengingatkan kembali khalayak tentang perjalanan jaringan fast food yang kini sangat akrab dengan kita, karena ada di mana-mana.
Perusahaan Makanan Cepat Saji: revolusi sistem restoran hingga anti serikat buruh
Sejarah perusahaan makanan cepat saji beririsan dan memiliki pengaruh timbal balik dengan budaya mobil di Amerika. Perintisan perusahaan makanan ini bisa dipatok pada pasca Perang Dunia II, saat para veteran perang jumud dengan kehidupan mereka, lalu mulai membuka bisnis makanan cepat saji yang menggunakan sistem layanan kilat.
Nah, dalam perjalanan bisnis tersebut, para perintis fast food ini mulai berpikir tentang konsep atau sistem pelayanan baru yang lebih praktis dan cepat. Di sinilah benih revolusi bisnis dan sistem restoran baru dipancang.
Lazim dilakukan di restoran-restoran konvensional layanan serta peralatan yang cenderung ribet dan tidak efektif, selain itu juga mahal. Para koki juga dibayar mahal karena tenaga mereka professional.
Para perintis fast food ini membalikkan semua itu. Pertama-tama, mereka memberlakukan sistem swalayan. Misalnya, dalam satu iklan McDonalds disebutkan, Bayangkan: Tanpa Carhop—Tanpa Pramusaji—Tanpa Mesin Cuci Piring—Tanpa Pelayan—Sistem McDonalds itu swalayan. Otomatis koki-koki mahal tak lagi dibutuhkan. Perangkat gelas dan piring kaca digantikan piring dan gelas kertas.
Tentu saja sistem pelayanan ini asing dan tak mudah diterima—orang belum terbiasa mengantri dan mengambil makanan mereka sendiri. Namun, perlahan sistem ini menjadi akrab. Menariknya, sistem ini, ditambah harga yang murah, membuat banyak kalangan, khususunya masyarakat bawah, merasa mampu mengakses restoran. “Keluarga kelas pekerja akhirnya sanggup memberi anak-anak mereka makanan restoran.”
Kita bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya: sukses melakukan revolusi sistem bisnis restoran, bisnis makanan fast food ini mulai berekspansi ke daerah-daerah lain, khususnya daerah berkarakter urban, di mana anak muda memiliki trend kehidupan yang bergairah—inilah pangsa pasar baru McDonalds sekaligus pasokan tenaga kerjanya yang bisa dibayar murah.
Fast Food dibuat seefisien mungkin—tidak ribet, dan terutama: enak. Namun, di balik rasa enak ini, rupanya menyimpan kisah kelam sendiri dalam sejarah perusahaan makanan cepat saji ini. Restoran cepat saji ini tak pernah membuka ke publik harga sejati biaya yang mereka keluarkan.
Bisnis yang kian menjamur dengan cepat ini lamat-lamat mulai membuka praktik bobroknya sendiri. Rupanya, para pemilik restoran cepat saji ini mulai bermain kongkalikong dengan tokoh politik. Sejak pemerintah Richard Nixon, industry fast food bekerja erat dengan sekutu-sekutunya di Kongres dan Gedung Putih untuk menentang UU keselataman pekerja, keselamatan pangan, dan upah minimum.
Bobrok lainnya adalah hilangnya kemandirian petani dan peternak atas tanah dan produk mereka, lalu menjadi buruh sewaan raksasa-raksasa agribisnis atau dipaksa enyah dari lahannya. Dan dari sekian fakta yang lebih memilukan adalah: restoran cepat saji adalah perusahaan paling anti buruh. Mereka tak segan-segan memata-matai dan memecat karyawan yang terlibat aksi protes pada perusahaan. Ada beberapa kasus yang diceritakan dalam buku ini.
Fast Food, bisnis yang mengalir ke Eropa Hingga Asia
Hanya berselang sebulan setelah Tembok Berlin runtuh pada November 1989, McDonalds Coorporation mengumumkan rencana membuka restoran pertamanya di Jerman Timur. Sejak itu McDonalds mencari titik-titik strategis di seluruh negara Eropa, Timur Tengah, hingga asia. Tentu tak semua diterima begitu saja. Karena bagaimana pun McDonalds dilihat bukan sekadar bisnis waralaba semata, namun juga dipandang simbol yang mewakili imperialism Amerika.
Contohnya, sekelompok anarkis di Jerman menjarah toko McDonalds pada 1995, dan membakar seluruh perabotnya. Lalu pada 1996 petani India menyerbu restoran KFC di Bangalore dan mengatakan jaringan itu mengancam sistem pertanian tradisional mereka. pada 1997 sebuah McDonalds di Kota Cali Kolumbia terkena bom. Dan serangkaian perusakan lainnya di sudut dunia lain.
Kasus paling fenomenal dan paling panjang antara McDonalds dan penentangnya adalah konflik yang dipicu oleh leaflet yang disebarkan dua aktivis Inggris yang tergabung dalam Greenpeace London. Mereka mengatakan, perusahaan ini “melambangkan segala sesuatu yang kami cerca: budaya sampah, banalitas paling rendah dari kapitalisme.”
Saat ini barangkali sejarah ini mulai terlupakan. Berpuluh-puluh tahun keberadaan jaringan fast food ini menerima penentangan ideologis dari berbagai kalangan yang kritis. Namun kini semangat zaman berubah. Keberadaan jaringan makanan cepat saji ini nampaknya dianggap sebagai kelaziman.
Dulu orang-orang menggelarinya JUNK FOOD—makanan sampah. Namun kini mendapatkan pemujaan secara tidak langsung lewat paket BTS Meal. Apakah ini tragedi atau berita gembira?
Tambahkan Komentar